8. Sungguh Terlalu

51.7K 5K 94
                                    

"Kalo lo nggak mau ngomongin gue, gue bisa tanyakan pada rumput yang bergoyang."

***

Sekarang Diano sedang duduk di balkon kamarnya, menatap langit gelap yang bertabur bintang.

"Alamat rumah teman lo itu di mana?" Diano terjolak kaget mendengar suara halus yang tiba-tiba memasuki indra pendengarannya.

"Kaget gue." Aila menyengir.

"Di mana? Gue tadi mau ikutin kalian tapi tiba-tiba ada urusan."

Memutar bola mata, Diano menatap malas Aila. "Buat apaan? Lo mau teror, Deeka?"

"Tuh tau. Eh, tadi kalian beneran ke dukun?" Tanya Aila sembari mendekat ke Diano.

Diano berdiri dan memasang kuda-kuda sambil memegang kalung batu yang di pakainya.

"Mundur, kalo lo nggak mau kebakar."

Aila menyirngit, lalu tertawa keras.

"Kenapa lo ketawa?"

"Lo...haha..lucu." ucapnya disela-sela tawanya.

"Jangan dekat-dekat." Ancam Diano.

Aila berhenti tertawa, wajahnya menyiratkan keseriusan. Dengan pelan melangkah mendekat ke Diano.

"Lo nggak takut? Lo bisa kebakar kalo lo dekat gue."

"Really?"

"Eh..." Diano memekik saat Aila menyentuhnya tapi gadis itu tidak kenapa-napa, malah tertawa lebar.

"Kalo kalung itu bisa buat gue kebakar, dari tadi gue udah kepanasan. Aduh, kalung lo itu nggak mempan."

"Apa? Nggak mempan?" Diano melepas kalung yang di pakainya lalu mendekatkannya ke Aila. Tapi tidak terjadi apa-apa.

"Bego di pelihara, sapi lo pelihara. Gemuk bisa lo jual." Aila tertawa. "Perut gue sakit lihat tingkah lo."

Diano langsung membuang kalung dari Mbah Dukun itu. Lima ratus ribu raib hanya untuk kalung yang tidak berfungsi sebagai apa-apa.

"Nyesel gue beli." Ucap Diano.

"Udah lah, terima aja kalo gue emang nggak bisa dihilangkan begitu aja." Aila menaik turunkan alisnya sambil tersenyum. Senyum yang menyebalkan bagi Diano.

"Lo emang nggak bisa dihilangin, ya? Malas gue lihat muka lo mulu."

Aila menggeleng. "Lo harus berubah baru gue bakalan pergi."

"Oke, gue bahkan berubah."

"Oke, kalo gitu kasih tau gue dimana rumah teman lo yang tadi siang." Tuntut Aila.

"Lo beneran mau neror, Deeka?"

"Iya, gue mau nakutin dia. Pengen gue cakar kalo bisa." Aila menggeram.

Diano tertawa. "Sayangnya nggak bisa, nasib."

Aila menatap datar Diano. "Kalo lo nggak mau nolongin gue, gue bisa tanyakan pada rumput yang bergoyang."

"Rumput bahkan eneg lihat muka lo, nggak bakalan di jawab. Ya kali?"

Aila diam. Lalu tiba-tiba hilang.

***

Aila tersenyum lebar saat melihat Deeka yang sedang duduk bersantai di balkon kamarnya. Tangan cowok itu memegang hape berlogo apel yang digigit, sesekali tertawa.

Aila menyeringai. Dengan sengaja dia menyenggol vas bunga hingga jatuh. Lalu menghilang.

Deeka yang awalnya tertawa, terdiam. Dan mendekat ke asal suara. Deeka menunduk dan mengambil vas bunga itu. Untung saja vas bunga itu dari plastik, karena jika dari kaca atau keramik pasti sudah pecah.

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang