40. Diano dan Aila

40.9K 3.5K 43
                                    

Nafas Diano tertahan. Suara itu. Masih Sama. Masih seperti bertahun-tahun lalu.

Gadis yang berada di atas panggung. Dengan gaun pendek selutut berwarna pastel, gadis itu meletakan gitar bersandar pada piano sebelum berjalan turun dari panggung.

Mendatangi meja bernomor 9, dengan senyuman lembut. "Hai," gadis itu melambaikan tangannya pelan dengan senyuman kaku.

Diano diam, menatap gadis itu. Menelisik setiap hal yang ada pada gadis itu, semua masih sama. Hanya saja saja gadis itu jauh terlihat lebih dewasa, berbeda saat perpisahan sepuluh tahun lalu.

Dia sama seperti yang sering Diano lihat di foto dan majalah. Dia sama, dia gadis yang selama ini ia tunggu, yang selama ini ia hanya bisa tatap di foto. Gadis yang selalu ada di setiap mimpinya. Gadis-nya.

"Aila," gadis itu tersenyum. "La, ini kamu?" Diano seakan masih linglung.

Aila tertawa pelan, suara yang sangat Diano rindukan, sangat-sangat ia rindukan.

"Aila ini kamu, kan? Bukan fatamorgana." Tangan Diano perlahan terulur menyentuh pipi gadis yang berada di hadapannya, nyata. Dia bisa menyentuh pipi gadis itu. Dia bisa meraih gadis itu.

Gadis itu memegang tangan Diano yang memegang pipinya. "Aku pulang."

Dan Diano tidak bisa tidak menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Ini kamu, benar-benar kamu." Diano memeluk Aila erat, mendekap erat gadis itu. Mendekap hal yang selama ini ia rindukan setengah mati. Bahkan kadang Diano ingin terbang ke tempat Aila, hanya sekedar untuk melihat wajah gadis itu. Diano sangat rindu.

Aila membalas pelukan Diano, ia mengusap rambut Diano pelan. "Ini aku, Aila."

Diano tersenyum, hampir saja menangis saking bahagianya.

"Aila."

"Iya, ini aku. Aku di sini, Alskar." Diano tersenyum lebar, memegang kedua pipi Aila. Ia menempelkan dahi keduanya. "Apa kabar?"

"Masih bernafas, dan masih mencintai seseorang yang selalu aku rindukan." Diano menatap dalam mata Aila, ia tidak peduli jika seluruh kafe melihat ke arahnya. Ia hanya tau, ini Aila-nya ada di depannya. Ada di sini bersamanya.

"Hai, Kak. Apa kabar?" Krisan, dengan gaun berlengan panjang yang jatuh di atas lutut tersenyum ke Deeka yang masih duduk dan mematung menatap ke arahnya. Krisan menggaruk tengkuknya. "Udah lama ya."

Deeka diam, tidak menjawab. Krisan kini berada di depannya. Jika ini mimpi, jangan bangunkan Deeka. Biarkan dia ada di dalam mimpi ini. Bahkan jika untuk selamanya.

Diano tersenyum mencium kening Aila sebelum melepaskan pelukannya.

"Deeka." Aila menepuk pipi Deeka yang sejak tadi tanpa berkedip menatap Krisan, membuat gadis itu salah tingkah. "Lo bikin adik gue salting tuh."

"Kakak ih!" Krisan menggembungkan pipi.

Diano tertawa. "Kalian kok bisa aja di sini?" Diano tampak enggan melepaskan Aila, cowok itu terus saja menempel pada Aila. Entah merangkul atau bersandar pada gadis itu.

"Baru sampai dua jam yang lalu, awalnya mau ke kantor kalian. Cuma kata sekertaris kamu, kalian pergi makan siang. Ya udah, langsung meluncur." Aila terkekeh pelan. Ia melirik Deeka yang masih saja menatap Krisan dengan tatapan yang sama, bahkan sampai gadis itu duduk di sampingnya.

"Kamu kenal sekertaris aku?" Aila mengangguk.

"Teman kuliah."

Diano mengangguk. "Kamu nggak pulang? Katanya baru sampe."

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang