39. Setelah

30.6K 3.2K 139
                                    

10 Tahun Kemudian.

Diano menghela nafas, meletakan berkas yang sejak tadi ia baca dengan wajah lelah. Kantung mata begitu terlihat di bawah mata pria itu.

"Permisi, Pak. Ada kiriman." Sekretarisnya, membuka pintu. Membawa Sebuah kotak yang tampak berat, Diano bergerak. Mengambil alih kotak itu dari sekretarisnya.

"Saya saja, kamu kerja lagi." Sekertaris wanita itu mengangguk dan keluar dari ruangan sang bos.

Diano meletakan kotak kardus itu di atas meja, mengambil cutter lalu memotong selotip kardus tersebut.

Ia tersenyum. Mengambil salah satu majalah yang ada di dalam kardus tersebut.

"Aila." Diano mengusap foto sampul majalah fashion ternama itu. Aila adalah model majalah sampulnya, dan beberapa foto Aila juga ada di dalam majalah tersebut.

Ini yang selalu Diano lakukan, kira-kira sepuluh tahun ini. Dia akan selalu mendapatkan semua majalah yang berisi Aila, berapapun harganya.

Diano mengambil gunting, kemudian memotong sampul dan beberapa bagian majalah yang menampilkan wajah Aila.

Ini sudah sepuluh tahun, sejak tujuh tahun lalu, Diano dan Aila hilang kontak. Diano berusaha untuk mendapatkan kembali kontak Aila, dengan banyak cara bahkan membayar dengan harga mahal. Tapi, tak satupun yang di balas oleh Aila.

Seakan hilang di telan bumi. Diano menempelkan foto Aila di buku yang sengaja ia tempelkan  foto-foto Aila.

Diano menghela nafas. Bukan sekali dua kali, berkali-kali ia menepis pikirkan jika Aila telah berpaling darinya. Dan itu membuat ia stres.

"Masih aja." Diano mengangkat kepala, menatap teman karibnya yang bernasip sama dengannya. "Galau mulu."

"Kayak lo nggak aja." Diano mendengus, menutup bukunya dan menurunkan kotak yang ia letakan di atas meja. "Kenapa lo ke sini?"

"Lah, salah gue mau ketemu dengan teman gue?" Deeka, tertawa keras. "Mau kasih ini sih." Diano meraih undangan yang di berikan Deeka. Ia menatap undangan itu lama.

"Teman kita banyak yang udah nikah ya." Deeka tertawa pelan, terkesan hambar. "Sedangkan kita nggak tau sampai kapan begini terus, Mama gue udah ngomel gara-gara gue di kira gay karena nggak pernah gandeng cewek. Katanya pasangan gay gue itu elo."

Diano mendelik. "Anjir, gue cowok tulen!"

Deeka terkekeh. "Kalo lo bukan cowok tulen nggak mungkin lo kumpulkan semua foto Aila."

Diano menatap undangan sederhana namun terkesan mewah, ini undangan kedua. Beberapa bulan yang lalu dia mendapatkan undangan yang juga berasal dari temannya.

Undangan pertama ia dapatkan dari Gensa dan Kamania, keduanya menikah di kota Paris dengan tema Garden Party. Diano ingat, keduanya sangat bahagia. Gensa yang tak henti-henti tersenyum dan Kamania yang tampak begitu cantik dalam balutan gaun pengantin rancangan Ibunya--Artha--yang seakan menambah kecantikan Kamania.

Dan sekarang dia mendapatkan undangan dari Gihon dan Rania. Siapa yang sangka, seorang Gihon Calisto Ruiz adalah seorang dokter sekarang, setelah selesai mengambil spesialis langsung melamar pacarnya sejak jaman Sma. Dan akhirnya akan menikah seminggu lagi.

"Bentar lagi kita bakal dapat undangannya Laudia dan Michael." Diano tampak menerawang. Baru dua hari yang lalu. Ia ingat jika dia dan teman-temannya yang lain membantu Michael untuk membuat lamaran yang romantis untuk Laudia.

Michael berpura-pura kecelakaan, dan Gihon yang seorang dokter akan mengatakan jika Michael tidak dapat di selamatkan lagi pada Laudia. Cewek itu menangis sambil memeluk Michael, lalu ada beberapa pertanyaan yang Michael tanyakan. Entah karena tidak sadar jika Michael tersenyum menatapnya yang sedang menangis, Laudia menjawab semua pertanyaan itu sambil menangis, dan sama sekali tidak sadar jika Michael yang memberikan pertanyaan itu padanya.

Sampai Michael bertanya 'Will You Marry Me?' Laudia mengangkat kepala, dia menatap Michael yang memegang sebuah cincin.

Awal yang buruk, Laudia menampar Michael. Dan menangis, membentak bahkan memaki Michael. Tapi bukan Michael namanya kalau tidak bisa meredakan kemarahan Laudia.

Akhirnya dengan penuh tangisan, Laudia menerima lamaran Michael. Dan dengan bahagia Michael memeluk tunangannya itu.

"Sedangkan kita nggak nikah-nikah." Deeka tertawa. "Makan siang yuk gue lapar."

***

Diano dan Deeka duduk di salah satu meja Kafe, tampak ramai. Berhubung sekarang memang sudah memasuki jam makan siang.

Setelah memesan Diano mengedarkan pandangan, ada sebuah panggung kecil di depan kafe.

Ada sebuah piano di depan sana. Tak lama, ada dua orang perempuan yang berjalan naik ke atas panggung.

Membungkuk, salah satu gadis duduk di depan piano. Sedangkan yang satu lagi duduk di sebuah kursi.

Petikan gitar membuat Deeka yang tadinya menatap ponsel menoleh, apalagi saat suara dentingan piano ikut bersuara.

Dalam harapku dan inginku
Kau ada disana
Di setiap langkahku dan mimpiku
Kau ada disana

Mungkin suatu saat nanti
Kau dan aku bersama
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya

Kaulah hasratku dan cintaku
Kaulah segalanya
Izinkan diriku bersamamu
Kerna sesungguhnya

Kurindukan dekapanmu
Kujanjikan setia
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta, uuuhhh

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya, ooh

Meski ku dan dirinya
Terpisah jarak dan waktu
Namun ku yakin
Dirimu hanya untukku

Tak perlu kau ragu kasih
Ku yakin cinta kita kan abadi
Dan indah pada waktunya

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga dirimu dan diriku

Oh Tuhan tolong
Jaga dirinya disana
Aku disini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya

Terdiam. Baik Diano maupun Deeka terpaku.

"Mereka..." Deeka masih terpaku. Kaget sekaligus shock. "Itu..."

"Itu mereka." Diano mengangguk perlahan. Diano menahan nafasnya saat gadis yang bermain gitar melambaikan tangannya dengan kedipan genit ke arahnya.

"Yang meja nomor 9, kita indah pada waktunya, kapan?"

Dan Diano menahan nafasnya untuk sesaat.

. . .

Hayo, kapan?

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang