Hari itu tiba, hari dimana Aila dan Krisan akan pergi. Hanya beberapa jam lagi, hanya tersisa hitungan jam untuk mengucapkan selamat tinggal pada kedua Kakak-Adik itu.
Diano dan Aila sedang duduk di salah satu kafe, keduanya duduk saling berhadapan, dengan Aila yang sibuk dengan minuman pesanannya dan Diano yang tampak enggan berpaling dari wajah sang kekasih. Diano pasti akan sangat merindukan wajah manis Aila. Tanpa sadar Diano menghela nafas, membuat Aila menoleh.
"Kamu kenapa?" Aila menggabungkan tangannya dengan milik Diano yang berada di atas meja. "Al?"
Diano menggeleng, membalas tangan Aila. Meremas pelan tangan Aila yang berada dalam genggaman tangannya.
"Semua... Akan tetap sama atau tidak?"
Aila mengerutkan kening, tidak tau kemana arah pembicaraan Diano yang agak tidak masuk akal.
"Maksud kamu?"
Diano menghela nafas, matanya yang tadi menatap Aila menunduk. Menatap tangan keduanya yang saling membalas. "Aku, takut."
"Takut?"
"Aku takut, rasa itu hilang dari kita. Kamu bahkan nggak tau sampai kapan kamu di sana, bisa saja berpuluh-puluh tahun. Lalu bagaimana jika aku yang di sini masih menyimpan rasa di saat kamu yang ada di sana tidak lagi punya rasa itu?"
Aila tersenyum tipis, mengusap pungung tangan Diano dengan ibu jarinya membuat Diano yang masih berseragam sekolah mengangkat wajahnya, menatap mata Aila yang sendu.
"Kemungkinan itu pasti ada. Tapi, kalau memang jodoh? Sekalipun ada berjuta laki-laki di luar sana yang bisa memberi sesuatu yang lebih dari kamu aku tetap akan pilih kamu. Bagaimanapun takdir tidak bisa di rubah."
Bibir Diano menarik senyum. "Aku selalu suka saat kamu bijak. Aku akan rindu itu."
Aila terkekeh pelan. "Jangan galau terus. Aku nggak pernah tinggalkan kamu, ini hanya sebuah tes untuk hubungan kita. Akankah bertahan? Atau pupus begitu saja."
***
Katakan ini adalah sebuah pesta perpisahan. Halaman belakang rumah Aila di sulap menjadi tempat piknik. Ada banyak orang yang tersenyum saat Aila dan Diano tiba.
Krisan dan Deeka pun ada di sana. Saling menempel dan sesekali berdebat saat Deeka lupa membalik daging dan sosis yang sedang mereka panggang.
Aila dan Diano duduk di atas karpet besar yang membentang di halaman rumah Aila. Suasana siang menjelang sore itu hangat. Hanya ada tawa diantara mereka semua yang hadir.
Laudia yang sejak tadi di pelototi oleh Michael karena tertawa keras saat bercerita sesuatu yang sesungguhnya tidak selucu itu mulai berbicara lagi. Bagai orang mabuk.
Michael menarik tangan Laudia. Menahan tangan sang kekasih di pangkuannya, berusaha agar gadis itu tidak melakukan hal yang konyol.
"Pacar lo gila?" Gihon menarik Rania menjauh dari Laudia yang mulai tenang saat bersandar pada bahu Michael.
Michael berdecak, melempar kulit kacang ke wajah Gihon. "Lo tau kalo dia lagi PMS bisa kayak orang gila, mood naik turun."
"Gue nggak tau dan nggak mau tau." Sahut Gihon cuek. Lebih memilih bercanda ria bersama sang pacar, Rania.
Kamania menarik ujung seragam Diano, membuat cowok dengan tampang tengil yang selalu membuat kesal itu menoleh.
"Berangkat jam berapa?" Tanyanya dengan suara rendah.
Diano cepat-cepat melihat pergelangan tangannya, tempat dimana jam miliknya terlingkar. Pukul 17:34.
Diano menepuk bahu Aila. Membuat Aila menoleh dengan tatapan bertanya. "Udah setengah enam."
Senyum serta tawa yang ada di taman belakang itu lenyap, berganti dengan atmosfir yang tidak menyenangkan. Semua raut wajah berubah seketika. Bahkan Laudia yang tampak ingin mengalirkan guyonan terdiam. Mulutnya terkunci rapat.
Aila perlahan mengangguk. "Nggak terasa, ya?" Senyum Aila tampak sedih.
Krisan menarik tangan sang Kakak, meremas pelan tangan dingin itu. "Kita siap-siap yuk."
Aila menatap sang Adik. Seharusnya bisa saja Krisan tetap tinggal, tapi gadis itu memaksa ikut. Padahal kehidupan Krisan masih panjang, masih bisa bermain dengan teman-temannya. Bermain piano, dan melakukan yang ia sukai di sini.
Krisan bisa membaca raut wajah Kakaknya, jadi Krisan menarik tubuh Kakaknya untuk ia peluk. Sebelum berbisik pelan. "Mereka akan tunggu kita, kalau mereka benar serius." Aila mengangguk.
Keduanya melepaskan pelukan mereka, lalu berpamitan untuk berganti baju dan membawa semua barang-barang mereka. Kedua orang tua dari pasangan Kakak-Adik itu hanya bisa tersenyum saat para teman-teman sang anak meminta untuk dapat ikut mengantar Aila dan Krisan ke bandara.
Aila duduk di samping Diano yang mengenakan jaket untuk menutupi baju kaos yang dia gunakan di dalam jaketnya. Aila mengusap tangan Diano yang berada di atas stir mobil.
Diano menoleh, dia tau jika ia melamun dan tangan hangat Aila menyadarkan itu.
"Aku masih di sini." Aila menatap serius, Diano yang perlahan mengangguk.
Krisan dan Deeka yang juga semobil dengan keduanya masih setelah memasukan barang-barang ke dan mobil orang tua Aila dan Krisan.
Mobil Diano memimpin jalan, hening melanda mobil itu. Biasanya akan selalu ada tawa saat mereka berempat berkumpul. Entah berasal dari Diano dan Deeka yang selalu berdebat atau Aila dan Krisan yang selalu membicarakan kejelekan satu sama lain.
Bandara.
Mereka tiba di bandara. Aila dan Krisan turun, sedangkan Diano dan Deeka memarkirkan mobil.
Saat Diano dan Deeka kembali, Aila dan Laudia sedang berpelukan.
Tidak lama berganti, Kamania lalu Rania. Michael, Gihon dan Gensa hanya bersalaman dan memberikan senyuman.
Kedua orang tua Aila juga memeluk kedua anak perempuan mereka dengan erat. Mengucapkan salam perpisahan dan beberapa amanat orang tua yang membuat Aila dan Krisan tidak dapat menahan air mata mereka untuk dapat jatuh.
Tiba saat untuk mereka yang memberikan salam perpisahan.
Diano berjalan dengan kaku ke depan Aila yang wajahnya penuh dengan air mata. Tangan Diano terangkat mengusap air mata Aila.
"Jelek kalo nangis kamu." Aila terkekeh, membuat Diano langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Memeluk dengan erat, begitu juga Aila yang membalas dengan tidak kalah erat. Keduanya melepaskan pelukan mereka setelah Diano meregangkan pelukan mereka.
Diano menoleh ke kedua orang tua Aila. "Om, Tante. Maaf." Ucapnya sebelum mendaratkan bibirnya di atas bibir Aila. Sebuah ciuman perpisahan. Air mata Aila tidak bisa di tahan lagi, air mata itu terus mengalir. Sampai mereka melepaskan ciuman itu.
Diano tersenyum, mengusap wajah penuh air mata dari sang kekasih. "Jaga cinta kita." Aila mengangguk.
Deeka menarik tangan Krisan yang sejak tadi dia genggam, dia tidak akan mengucapkan perpisahan. Tidak boleh ada air mata. "Ini dari aku, mungkin nggak seberapa. Tapi semoga bisa buat laki-laki lain yang lihat kamu menjauh." Deeka menyelipkan sebuah cincin emas putih pada jari Krisan membuat Krisan langsung memeluk erat Deeka.
Aila dan Krisan melambaikan tangan mereka, senyum yang di iringi air mata. Keduanya menghilang saat berbelok di gerbang keberangkatan luar negeri.
Mereka pergi.
. . .
Geli-geli gimana gitu tulis part ini. Hehe..
Vote and komen yang banyak, biar semangat updatenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diano Dan Aila
Teen Fiction"Lo mau ngapain ikut gue masuk kamar mandi?!" Tanya Diano sambil melotot. Gadis itu menyengir, polos. "Emang kenapa?" "Lo cewek, dan gue cowok. Lo nggak takut gue apa-apain?!" Diano mendelik ke gadis itu. "Loh? Lo aja nggak bisa pegang gue, gimana c...