18. Hangat

46.2K 4.7K 120
                                    

Ruangan itu mendadak hening, hanya terdengar suara dari mesin EKG yang terdengar teratur.

"Kris temani gue beli minum yuk." Tanpa peduli jawaban Krisan Deeka menarik tangan gadis itu agar ikut dengannya. Deeka tau Diano butuh waktu bersama Aila. Dan ia hanya ingin Diano lebih leluasa.

Diano tersenyum kecil saat Deeka dan Krisan keluar, kadang Deeka bisa jadi orang paling menyebalkan tapi kadang juga bisa jadi yang paling mengerti.

Menarik kursi kecil berwarna biru mendekat ke brankar Aila. Diano mengambil tangan Aila yang ada di dalam selimut dan menggenggamnya.

"Kenapa nggak jujur aja kalo lo koma?" Diano tau jika di ruangan itu ada Aila tepatnya di belakangnya. "Jujur aja kenapa? Lo udah koma selama itu dan selama lo koma lo ikutin gue? Keinginan lo cuma itu?" Diano masih saja bermonolog.

Tangan Diano mengusap punggung tangan Aila. "Tangan lo hangat."

"Al,"

"Aila, kenapa lo nggak bangun aja sih?"

"Enggak segampang itu."

"Maksudnya?" Diano masih tetap pada posisinya, tangannya masih menggenggam tangan Aila dengan lembut. Sesekali membawanya ke bibirnya untuk di kecup.

"Gue udah janji."

"Janji apa?"

"Janji yang waktu itu kita pertama ketemu. Lo kira itu cuma omong kosong? Enggak, itu janji, salah satu janji yang udah gue buat. Gue nggak bakalan bangun kalo janji itu belum tunai. Bahkan hingga seratus tahun nanti."

"Cuma itu?"

"Ya, cuma itu."

"Oke, gue bakalan cari cewek yang lo maksud. Asal... Setelahnya lo bangun. Gue miris banget sama keadaaan lo sekarang." Diano berbaik, menatap Aila yang ada di belakangnya. "Gue bakalan, bahkan secepatnya cari cewek itu. Yang bisa buat gue berubah."

Aila tersenyum. "Makasih,"

"Hm, La." Aila bergumam menjawab panggilan Diano. "Kalo lo gue pindah ke rumah sakit keluarga gue mau nggak? Di sana fasilitasnya lebih lengkap, Kakak gue salah satu dokter di sana."

"Jangan tanya ke gue, tanya ke Mama atau Papa gue." Diano mengangguk. Senyum kecil terukir di bibir Diano, entah kenapa serasa begitu nyaman memegang tangan Aila. Seperti dia memiliki pegangan, memiliki penopang.

"Lo gila atau apa? Senyum-senyum sendiri gitu." Aila berjalan mendekat ke Diano.

Diano tersenyum hampir tertawa. "Enggak tau, gue rasa pas gitu tangan lo sama tangan gue. Lihat." Diano menyelipkan jari-jarinya disela jati Aila. "Rasanya... Ada yang terisi."

Aila menggigit bibir bawahnya. Matanya meliar. Coba ada Deeka dan Krisan disaat seperti ini.

"Kak ini Mama gue." Aila menghela nafas lega, apalagi saat Mamanya ikut datang.

Diano berdiri dan tersenyum pada Natalie. "Sore Tante."

Natalie tersenyum. "Kamu yang namanya Diano? Deeka sudah cerita banyak tentang yang tadi. Kamu kenal Aila dari sekolah, kan?"

Diano memberikan tatapan penjelasan ke Deeka yang ada di belakang Natalie. Deeka membalas tatapan Diano, dengan tatapan mengiyakan semua ucapan Natalie.

"Iya, Tante." Diano tersenyum.

Natalie tersenyum. "Duduk aja. Jangan sungkan." Diano kembali duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Hanya saja dia tidak lagi menegang tangan Aila hanya memandang lurus begitu saja.

"Em, Tante." Diano sedikit gugup berbicara dengan Natalie, walau wanita itu membalas dengan senyum hangat.

"Kenapa Diano?" Tanya Natalie lembut. Sesaat Diano menjadi rindu pada Mamanya yang ada dirumah--mungkin.

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang