"Puas?"
Aila masih membekap mulutnya sendiri, juga masih menatap tidak percaya ke adegan yang baru saja di lihatnya. Apa-apa ini? Apa Diano sedang mempermainkannya? Tapi sama sekali tidak ada raut wajah jenaka, hanya ada wajah serius Diano.
Mata Diano menatap lurus ke Aila. Mata yang penuh dengan keyakinan, tanpa ada keraguan sama sekali.
"L-lo.. Nggak mungkin."
"Apa yang nggak mungkin? Gue harus apa lagi? Lompat dari jendela?" Nada Diano terdengar frustasi. Apa ia terlihat berbohong? Ia jujur.
"Wow, ada apaan nih?" Deeka menatap Diano dan Aila yang nampak sedang berdebat.
"Kenapa Kak?" Krisan ikut menolehkan kepalanya ke Diano. "Ada Kak Aila?" Lalu menoleh ke Deeka.
Deeka mengangguk. "Tapi sepertinya dalam situasi yang nggak baik."
"Gue sayang sama Aila."
Deeka maupun Krisan mengerjap. "Hah? Sayang?" Beo keduanya bersamaan.
"Gue sayang sama Kakak lo Krisan. Tapi Kakak lo itu nggak percaya."
"Kakak suka Kak Aila? Kok bisa? Kalian aja nggak pernah ketemu."
"Dia tiap hari dekat sama gue. Nggak pernah ketemu gimana? Kalau badannya memang, tapi arwahnya selalu di dekat gue." Tatapan Diano tidak berpindah, masih tertuju pada Aila.
"Lo pulang." Aila bergumam pelan, namun masih terdengar Diano. "Pulang. Datang saat ada kabar kalo terjadi sesuatu sama gue."
"Tapi.."
"Please," Diano menatap protes ke Aila, tapi ia tidak punya pilihan.
"Jangan ingkar. Ingat sampai lo dapat kabar. Kalo nggak jangan pernah datang ke sini." Aila menatap kelamnya mata Diano.
"Tapi kenapa gue harus menjauh?"
"Pokoknya ikuti aja. Kalo lo beneran sayang sama gue, lo pasti bakalan ikuti apa yang gue bilang."
Diano menyerah, ia mengalah. Segera matanya berpindah pada tubuh Aila, tanpa memperdulikan Deeka dan Krisan, Diano mencium kening Aila. Agak lama. Seakan mengatakan pada Aila agar tidak ragu padanya.
"Kalo lo masih mau di sini, di sini aja. Gue balik. Kris nanti kasih gue kabar tentang Kakak lo, semua. Gue balik." Diano menepuk bahu Deeka sebelum keluar dari ruangan Aila.
Mendadak ruangan itu hening. Hanya terdengar suara dari mesin EKG.
"Gue pulang deh. Kita ketemu lagi di sekolah." Deeka tersenyum, sebelum keluar mengacak rambut Krisan.
Sempat membeku Krisan memegang kepalanya. Tempat dimana Deeka meletakan tangannya. Tanpa sadar bibirnya tersenyum, dengan senyum yang begitu tipis.
"Kak kalo lo ada di sini gue cuma mau bilang. Kak Diano kelihatan tulus banget sama elo, jangan bikin dia tambah susah." Krisan bermonolog, kakinya perlahan mendekat ke brankar tempat Aila berbaring. "Cepat bangun ya Kak, gue udah kangen banget sama elo. Kangen saat kita sama-sama ke mana-mana, main, makan, cerita, dengar lagu, nyanyi, gue rindu semua itu." Air mata Krisan berlomba keluar. Krisan bukan cengeng, tapi memang itu adanya. Terlalu lama ditinggal oleh orang yang disayangnya, apalagi sejak dulu Krisan sama sekali tidak pernah jauh dari Aila. Kakaknya itu pedomannya, Kakaknya adalah pahlawan baginya. Buktinya, sekarang walau dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan baik Kakaknya itu tetap bertahan, meski banyak kabel dan selang di badannya. Meski dokter hanya bisa bilang, keajaiban yang bisa membangunkannya.
Krisan menghela nafas. Memijat pangkal hidungnya.
Aila mendengar jelas ucapan Krisan, ia tau apa yang dirasakan Krisan. Karena ia juga sama, ia juga rindu pada adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diano Dan Aila
Teen Fiction"Lo mau ngapain ikut gue masuk kamar mandi?!" Tanya Diano sambil melotot. Gadis itu menyengir, polos. "Emang kenapa?" "Lo cewek, dan gue cowok. Lo nggak takut gue apa-apain?!" Diano mendelik ke gadis itu. "Loh? Lo aja nggak bisa pegang gue, gimana c...