Perjalanan hening, tak ada satupun anak manusia yang ada di dalam mobil tersebut yang membuka suara.
Krisan menghela nafas pelan, melirik Kakak kelasnya dulu. Sekarang sudah menjadi orang sukses, wajahnya semakin terlihat dewasa, rambut dengan potongan rapi. Padahal dulu Deeka paling benci memotong rambut, apalagi menghilangkan jambulnya.
"Jadi," Deeka berdeham pelan. Membuat Krisan gelalapan karena ketahuan memandangi anak remaja yang telah beranjak dewasa itu. "Sekarang lagi sibuk apa?"
Krisan tersenyum. "Buat lagu. Kadang-kadang melukis."
"Ambil jurusan seni?"
Krisan mengangguk. "Kadang juga nulis."
Deeka mengangguk.
Lalu kembali hening.
Sampai di kantor Deeka tidak seorang pun yang bersuara. Bahkan Deeka tidak membantu Krisan membawa koper. Deeka hanya berjalan lurus begitu saja.
Di dalam lift, keduanya hanya diam. Ada rasa kecewa di hari Krisan, ternyata ekspektasinya salah. Awalnya dia kira Deeka akan sangat senang melihatnya, setelah putus koneksi selama beberapa tahun. Nyatanya, Deeka berubah dingin padanya.
Lantai teratas, Diano langsung berjalan keluar. Sedangkan Krisan berjalan dengan lesu di belakang, tidak ada artinya rasa lelah yang ia rasakan. Hatinya lebih terasa sakit.
Deeka membuka sebuah pintu, ruangan berwarna abu-abu dengan sentuhan putih mewarnai ruangan kerja Deeka.
"Tidur aja di sini." Deeka membuka pintu berwarna cokelat. Ada ruangan berisi tempat tidur, lemari pakaian. Krisan mengangguk pelan. "Ada rapat." Krisan lagi-lagi mengangguk.
Deeka mengangguk perlahan, berjalan keluar dari ruangannya. Tangannya terkepal.
Cincin yang pernah ia berikan pada Krisan sepuluh tahun yang lalu tidak ada di jari gadis itu. Diano mengusap wajahnya kasar, bersandar pada tembok.
Perasaan Krisan sudah tidak lagi ada padanya, perasan gadis itu sudah berubah.
Fakta itu membuat Diano frustasi. Mengacak rambutnya kasar, Diano menghela nafas kasar.
"Kak." Diano menoleh, bertemu dengan manik mata Krisan yang masih sama seperti dulu. Tenang. "Hape Kakak bunyi." Krisan memberikan ponsel Deeka, bahkan ia tidak sadar kalau meninggalkan ponselnya di ruangannya.
Diano menerima. Mengangkat telefon itu. "Oke." Setelah sambungan itu terputus, Diano melirik Krisan. "Nggak istirahat?"
Krisan mendongak, lorong ruangan Deeka sepi. Bahkan terlalu sepi, Krisan bahkan bisa mendengar suara nafasnya sendiri.
"Belum ngantuk." Gadis itu meremas ujung gaun yang ia kenakan. "K-kakak, p-punya pacar b-baru?" Rasanya bagai ada kelereng yang ia telan, sampai rasanya sulit untuk menelan. Ia hanya ingin memastikan.
Deeka menatap ponselnya. "Iya."
Krisan menatap mata Deeka, matanya tampak kecewa. Gadis itu perlahan mengangguk. Ternyata Deeka mengingkari janjinya. Krisan mengigit bibir bawahnya.
"Selamat kalau begitu, Kak. Semoga Kakak bisa bahagiakan dia. Jangan buat dia terluka." Bibir Krisan bergetar.
"Saya cuma tidak mau terlalu lama menunggu untuk hal yang tidak pasti." Deeka mengalihkan pandangannya dari Krisan yang menunduk. "Hanya tidak mau mempertahankan perasaan yang hanya sepihak."
Krisan menahan air matanya sekuat tenaga, pertahankan tidak boleh hancur sekarang.
"Jadi, kita ini apa?" Krisan menggigit bibir bawahnya keras. "Kita apa, Kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diano Dan Aila
Teen Fiction"Lo mau ngapain ikut gue masuk kamar mandi?!" Tanya Diano sambil melotot. Gadis itu menyengir, polos. "Emang kenapa?" "Lo cewek, dan gue cowok. Lo nggak takut gue apa-apain?!" Diano mendelik ke gadis itu. "Loh? Lo aja nggak bisa pegang gue, gimana c...