28. Bunga

44.9K 4.1K 69
                                    

Aila duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Pagi ini ia akan melakukan terapi, tapi ini masih jam 7 pagi dan ia akan terapi jam 9 masih ada waktu dua jam lagi.

"Kak, ini." Krisan memberikan sebungkus roti ke Aila yang tengah melamun. Membuat gadis itu tersentak.

"Makasih." Aila membuka pembungkus roti rasa cokelat yang di berikan Krisan. "Nggak sekolah? Nanti telat."

"Ada lomba di luar. Kata Bu guru nggak usah sekolah langsung ke tempat lomba." Krisan duduk di tepi tempat tidur Aila.

"Jam berapa?" Aila mengunyah roti yang ada di mulutnya.

"Jam 1. Kakak jangan datang, Kakak di sini aja."

"Kenapa? Gue juga mau lihat adek gue lomba." Aila tampak tidak terima adiknya melarangnya ikut.

"Nanti Kakak sakit lagi." Krisan menghela. Ia benar-benar tidak ingin lagi melihat Aila tertidur lagi, di rumah sih tidak masalah, tapi kalau di rumah sakit dengan banyak selang dan kabel cukup sekali saja.

Bibir Aila perlahan mengecut. "Tapi gue mau lihat, Kris."

Krisan menggeleng keras. "Enggak. Nanti gue telfon Kak Diano deh buat temani."

Mendengar nama Diano, pikiran Aila kembali terlempar ke hari kemarin. Ia yang saat itu di todong dengan pertanyaan seperti itu hanya bisa. Diam, menunduk. Hingga Diano meminta agar Aila melupakan apa yang di ucapannya. Jangan terlalu di fikiran.

Tapi bagaimana bisa Aila tidak memikirkannya, sorot mata Diano saat itu sangat-sangat berbeda. Sangat menunjukan apa yang tengah ia rasakan. Tapi, Aila belum siap. Menghela nafas Aila menatap ke luar jendela.

"Enggak usah. Gue sama Papa aja." Aila tersenyum.

"Semoga berhasil." Aila mengepalkan tangannya memberikan semangat.

Krisan balas mengepalkan tangannya. "Pasti!" Krisan sepertinya sedikit kesulitan berjalan dengan gaun panjangnya. Sebenarnya jika Krisan ingin dia bisa memakai gaun yang sedikit lebih pendek dari yang ia pakai sekarang. Tapi kata Mamanya nanti tidak akan bagus, nggak anggun. Jadi Krisan pasrah saja.

Setelah Krisan dan Mamanya pergi, Aila memakan kue yang di bawa Papanya. Kue rasa pisang dengan taburan kacang.

"Kak, ayo. Udah mau jam sembilan." Aila meneguk air dalam botol sebelum di bantu Papanya untuk duduk di kursi roda.

Ruangan tempat terapi tidak jauh dari ruangan inap Aila.

"Selamat pagi, Lafender." Rheva yang berada di dalam ruangan menyapa. Bukan dia yang menjadi dokter tetapi Aila. Namun karena Diano, Rheva menjadi dokter yang menangani Aila.

"Ayo kita mulai saja." Rheva membantu Aila berdiri. Awalnya Rheva merangkul Aila dan membantu Aila melangkah perlahan. Lalu Rheva memegang kedua tangan Aila. Menuntun Aila berjalan.

"Kamu cepat banget bisa, beberapa kali lagi sepertinya kamu sudah bisa jalan seperti biasa." Rheva tersenyum. "Kamu pacarnya Diano, ya?"

Aila menoleh dengan kaget. "Enggak kok." Untung saja Ayah Aila berada di luar dan tidak mendengar pertanyaan Rheva, bisa kacau nanti.

"Masa sih." Gumam Rheva. "Masa dia mau lakuin semua ini demi kamu, padahal kamu bukan siapa-siapa."

Aila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa.

"Nggak udah di pikiran. Saya cuma tanya saja." Rheva sekali lagi tersenyum. "Tapi kalo kamu jadi adik mantu saya, nggak masalah kok. 'Kan enak udah kenal."

Aila hanya tersenyum canggung. Dan Ayah Aila datang di saat yang tepat.

"Kita ketemu besok pagi jam 11." Rheva kembali tersenyum.

"Kamu tadi bicara apa sama Dokter Rheva? Kayak seru." Fiko menatap anak gadisnya yang melamun. "Kak?"

"Eh?" Aila tersentak. "Enggak ngomongin apa-apa, tadi cuma tanya-tanya aja."

Kamar inap Aila yang sebelumnya kosong kini terlihat ramai, ada teman-temannya.

"Hai, Laf." Sapa ceria Laudia. Cewek itu membawa bunga mawar ke pangkuan Aila.

"Om tinggal, ya? Jaga Aila-nya baik-baik."

"Tenang aja, Om. Aila aman." Deeka mengacungkan jempolnya.

Setelah Fiko keluar, Laudia mendorong kursi roda Aila ke dekat mereka yang duduk di sofa.

"Kenapa lo bawa bunga? Ada apaan?" Aila menggoyangkan setangkai bunga mawar yang di berikan Laudia.

"Kita belum kasih kado buat lo karena udah sadar. Jadi kita bawa bunga aja." Senyum Laudia kian lebar.

"Nggak perlu, kali. Kalian datang aja gue udah senang." Aila menatap teman-temannya bergantian.

"Gigi, titip salam buat lo. Katanya maaf nggak bisa datang." Ucapan Rania membuat Aila terdiam.

"Iya, salam balik bilang nggak pa-pa." Aila tersenyum, meski ada sisi lain dirinya yang merasa tidak enak.

"Dan, kita sedang berusaha mencari tau siapa dalang di balik kecelakan yang lo alami." Timpal Kamania. Seketika membuat Aila mengangkat kepalanya dengan tatapan kaget.

"Nggak usah!" Aila menggeleng cepat. "Itu cuma kecelakan, itu pasti nggak di sengaja."

"Mana ada yang nggak di sengaja? Nggak mungkin truk sebesar itu nggak ada klaksonnya, 'kan aneh." Lagi-lagi ucapan Kamania membuat Aila diam.

"Tapi.. Pokoknya nggak usah. Jangan buang tenaga buat hal yang nggak penting."

"Nggak penting?" Laudia bersedekap. "Kita nggak mungkin tinggal diam kalau teman kita temenan musibah."

"Nggak usah."

"Kenapa lo ngotot banget?" Pertanyaan Deeka membuat Aila menggigit bibir bawahnya.

Aila menggeleng pelan. "Nggak perlu, jangan buang tenaga buat cari tau kecelakaan ini. Biarkan saja."

"Oke, kita tinggalkan dulu percakapan nggak jelas ini. Hari ini kita mau ajak lo pergi." Jelas Kamania dengan senyum lebar mengembang.

"Kemana? Emang gue boleh pergi?"

Kamania mengangguk. "Kita udah minta ijin sama Dokter dan bonyok lo."

"Mau kemana?"

"Rahasia."

***

Aila menatap Krisan yang berada di atas panggung dengan bangga. Permainan piano Adiknya itu memang harus diacungi jempol. Permainannya bisa membawa orang yang mendengar seakan masuk ke dalam lagu yang dia mainkan. Melodinya mematikan.

"Calon pacar gue emang luar biasa." Celetuk Deeka. Aila yang berada di antara samping Deeka melotot.

"Gue nggak pernah setuju lo pacaran dengan adek gue." Aila menatap garang Deeka, tangannya mencubit lengan cowok itu dengan ganas.

"Namanya juga usaha." Deeka mengusap lengannya yang sempat terkena capit maut dari Aila. Asal tau saja, cubitan Aila itu menyakitkan. Mirip capit tuan Crab.

Setelah permainan yang luar biasa Krisan berdiri dan memberikan hormat dengan sedikit membungkuk. Wajahnya cerah apa lagi saat tau Aila dan yang lain datang untuk menonton pertunjukannya. Itu membuat Krisan semakin semangat, walau sebelumya dia melarang Aila untuk datang tapi dia sangat bahagia begitu tau Aila menontonnya. Karena sebenarnya dia ingin Aila melihat permainannya.

"Kakak," Krisan memeluk Aila setelah menyelesaikan permainannya, mereka semua berada di ruang yang di khususkan untuk keluarga para peserta.

"Keren." Aila memberikan dua jempolnya. "Gue udah bilang bakalan datang."

"Gue senang lo datang." Krisan mensejajarkan tingginya dengan Aila yang berada di kursi roda. "Tapi, gue nggak yakin menang, Kak."

Aila memegang tangan Krisan yang berada di pangkuannya. "Menang kalah, itu biasa. Yang luar biasa itu kalau kita mengeluarkan semua yang kita punya meski tidak tau apa yang akan terjadi nantinya. Setidaknya kita berusaha."
. . .

Lagi pengen update

Diano Dan AilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang