Fina : Kalau sayang, mereka gak boleh ngehancurin hari spesialnya Rahiel.
--------------------------------------
"GUE gak tahu, Yell," Aidan menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Gue gak tahu kenapa gue sangat bodoh. Gue bahkan gak tau kenapa gue bisa cerita begini, dengan lancarnya sama lo," matanya menatap cewek itu kosong.
"Aidan jangan begitu ah," Rahiel kebingungan.
"Satu hal yang buat gue nyesel. Gue gak bisa apa-apa. Gue cuma bisa diem. Diem pas ngeliat Mama gue disakitin. Gue ketakutan sama Papa gue sendiri. Dan gue diem aja saat Mama gue nangis karena gue gak ngerti. Banyak hal yang waktu itu gue belum bisa cerna. Dan itu juga, tante gue yang jelasin beberapa tahun setelahnya. Nenek gue gak mau cerita apapun."
"Aidan ya ampun, gue bener-bener speechless. Sama sekali gak percaya," ucap Rahiel dengan nada yang tidak bisa di jelaskan. "Terus Papa lo--"
"Papa gue kayak begini. Kayak yang lo liat," Aidan menatap mata Rahiel. "Dulu, gue punya temen."
"Apa yang terjadi lagi?"
"Dia sahabat gue waktu SMP. Waktu itu, dia main ke rumah gue dan--" Aidan malah menangis. "Sori."
"Lo mau minum dulu? Gue ambilin ya," Rahiel berdiri dari posisinya. Namun Aidan. Ia menunduk.
"Jangan pergi. Tolong," cowok itu menahan Rahiel dengan cara menarik roknya pelan. "Gue cengeng banget, ya?"
Rahiel menggeleng, lalu dirinyaa terdiam. Beberapa saat kemudian, ia kembali duduk ke posisi awalnya. "Terus temen lo?"
"Dia dipukul sama Papa gue. Saat itu gue lagi ke mini market. Beli bahan makanan. Gue gak tahu temen gue ini dateng. Pas gue sampe rumah, gue ngeliat dia dikejar-kejar sama Papa, persis lo tadi. Dipukul, ditampar. Lebih parah dari tadi," mata Aidan memerah.
Rahiel tidak pernah menyangka kalau Aidan yang pemalu punya sisi seperti ini.
"Dia marah sama gue, dia kecewa karena gue ngerahasiain ini. Beberapa minggu kemudian, dia ... pindah sekolah," ucap Aidan. "Setelah itu gue bener-bener sendiri. Dan semenjak itu gue jadi lebih takut berteman. Gue bener-bener takut mereka ninggalin gue."
"Gue udah niat dan janji sama diri gue sendiri kalau mau jagain bokap gue yang udah begini. Dan gue gak mau ada korban pelampiasan dia lagi. Tapi tadi--"
"Tadi apa?"
"Maafin gue, padahal gue janji. Tapi, gue gak bisa nepatin janji gue, gue bener-bener minta maaf."
"Maksud lo apa?"
"Padahal tadi gue disana, dan kejadian yang sama hampir aja terulang. Gue minta maaf."
"Aidan, woi! Gue gak apa-apa. Oke? Gue tadi cuma ... bingung sekaligus kaget," Rahiel tersenyum. "Gue gak apa-apa."
"Tapi, Yell ..."
"Gue gak apa-apa, Aidan Pratama."
"Iya, tapi gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang, lagi. Lo ngerti gak sih, Rahiel Nathania?" ceplos Aidan. Ia menekan kalimatnya.
Sayang? Cewek itu terdiam untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini.
"Maksud gue--"
"Jadi lo takut gue ninggalin lo karena Papa lo, karena keluarga lo?"
Aidan membisu.
"God, Aidan, look at me!" Rahiel memegang kedua bahu Aidan. Cewek itu menatap Aidan serius. "Gue gak peduli sama masa lalu lo, latar belakang lo, sifat lo, atau ekonomi lo, apapun itu. Gue gak peduli. Emang, gue gak suka liat lo begini, tapi gue bukan tipikal orang yang suka pergi ninggalin disaat sahabatnya lagi susah, ataupun lagi seneng. Gue gak akan ninggalin lo karena hal ini. Gue gak sejahat itu!" ucapnya sambil mengguncang bahu cowok itu pelan. "Lo harus percaya gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[RGS 1] To, Aidan.
Teen Fiction[JUDUL SEBELUMNYA ; NERD] Ini kisah tentang Rahiel. Rahiel dilanda dilema. Antara menerima kenyataan, atau mempertahankan harapan? Belum sempat dia memilih, muncul Aidan. Rahiel makin bingung. Ini juga kisah tentang Aidan. Aidan menyimpan semua mem...