dua puluh lima

105 15 9
                                    

"Ah, lo aja kemarin-kemarin ngejauh gitu dari gue. Sekarang kayak begini. Sebenernya, perasaan lo sama gue itu gimana sih?" 

----------------------

Aidan hanya menatapi makan yang ada di depannya. Sama sekali tidak bersemangat. 

Rahiel menjauh, entah Rahiel memang menjauh atau Aidan yang menjauh. Sementara Nabila terus saja mendekati Aidan. 

Aidan sangat ingin minta maaf, tapi Nabila mengancam keselamatan Rahiel. Aidan bukan takut. Bahkan sama sekali tidak, lagi pula untuk apa? Hanya saja jika Aidan meminta maaf sekarang, rasanya kurang pas. 

"A..idan," sapa seseorang yang berada di belakang Aidan. Aidan menoleh, lalu ia mendapati Rivzy.

"Oh, hai Zee. Kenapa?" tanya Aidan ragu-ragu. Ia berusaha tenang. Aidan memang selalu mengingat kata-kata Rahiel, serta mempraktekannya. 

"Bisa ngobrol gak?" 

Aidan tertegun. Sesaat kemudian, ia mengangguk.


---


"Lo tau gak kira-kira kenapa Rahiel gak masuk kemarin?" 

Aidan menggeleng. Membuat mata Rivzy agak melebar. Jadi, Rahiel belum bercerita kepada Aidan kalau...

Rivzy hanya membalasnya dengan senyum. 

"Emangnya... dia kenapa?" 

"Gak. Gak apa-apa," jawab Rivzy dengan nada datar. "Lo suka sama Rahiel ya?" tembak Rivzy. 

Aidan cukup kaget dengan pertanyaan Rivzy. Tapi ia tidak mengaku, apa untungnya juga? 

"Enggak." Aidan menatap bola mata Rivzy, supaya terlihat meyakinkan, terkesan serius. "Gue gak suka dia." 

Aidan kira Rivzy akan menghela nafas lega, Aidan kira Rivzy masih berharap kepada Rahiel namun apa? Rivzy malah tertawa sekencang-kencangnya. "Lo dusta!" 

"Lo tuh mirip tau gak sama Rahiel? Sama-sama gak mau ngakuin perasaan sendiri yang udah jelas-jelas kelihatan, yang udah jelas-jelas muncul ke permukaan." Rizvy terkekeh. "Padahal kalian sama-sama sayang. Tapi lo berdua malah uring-uringan gak jelas. Gue greget loh ngeliatnya."

Aidan membisu. 

"Akuin aja sih Dan, kenapa?" Nada bicara Rivzy seperti merajuk, namun air wajahnya terlihat santai. "Gue juga udah gak suka dia." 

Namun Aidan masih membisu. Ia melihat ke arah lain, menghindari tatapan Rivzy. 

"Ya udah, kalau lo gak mau ngaku ke gue, gak apa-apa. Palingan kalau lo kecolongan juga lo yang nyesel. Saingan lo banyak sih. Siap-siap aja, bro." Rivzy menepuk pundak Aidan, lalu berjalan menjauh.

Dan Aidan di sini, sendiri. Pikirannya di hantui sejuta perasaan asing, sejuta perasaan bersalah. 


---


"Goblok! Gue gak nyuruh lo bilang apapun ke dia 'kan!" Rahiel menggerutu kesal. "Gue cuma minta lo liatin dia, ngapain aja." 

"Untuk apa? Emang gue kaki tangan lo?" kekeh Rivzy. "Lagian, kalau cuma ngeliatin, lo juga bisa!" 

"Tapi gue gak mau kelihatan, bodoh!" sergah Rahiel. "Siapa yang ngajarin lo ngomong kayak gitu? Nanti disangkanya gue suka sama dia!" lanjutnya. Rahiel seakan mengomeli anaknya. 

[RGS 1] To, Aidan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang