dua puluh

90 21 18
                                    

"Happy Birthday ya, Rahiel! Aduh, tambah tua aja nih, wish-nya ... semoga lo panjang umur, sehat selalu, bisa kuliah di Harvard seperti yang lo idam-idamkan, ahahaha. Terus apa lagi ya, OH IYA, cepet dapet pengganti! Intinya, tetep jadi Rahiel yang gue kenal. Oke?"

---------------------  

RAHIEL -dengan terpaksa- pada akhirnya ikut dengan Felicia. Pergi ke mall, berdua saja. Shopping, nonton, makan, atau hanya sekedar lihat-lihat. Rahiel ingin sekali melepaskan semua yang ia tahan hari ini. Semuanya.

"Udah sampe, Yell. Yuk, turun."

Rahiel menghela nafas lega. Setelah berhasil melawan arus macet kota Jakarta yang luas ini, akhirnya ia sampai. Rasanya, ini masih jam 2 siang. Padahal, jelas-jelas ini sudah jam 7 malam. 

Oh oke, mungkin karena dirinya terlalu sibuk. Sibuk rapat, sibuk tugas, sibuk belajar (iya, Rahiel juga masih menyempatkan diri untuk belajar, walau ada event seperti ini), sibuk OSIS, dan sibuk yang lainnya, jadi ia sampai lupa waktu. 

Setelah mereka sampai, mereka langsung mencari tempat di salah satu kedai kopi ternama yang ada di mall tersebut. Walau ini hari sekolah, mall tetap saja ramai. 

Setelah Felicia dan Rahiel mendapatkan tempat, Felicia langsung bangkit. 

"Yell, gue ke kamar mandi sebentar. Lo tunggu disini aja, ya? Pokoknya, Lo jangan kemana-mana," ucap Felicia. Rahiel hanya mengangguk. Rahiel memang tidak berniat untuk pergi atau keliling mall. Selain malas, dirinya juga capek. 

Setelah memastikan Felicia keluar, Rahiel mendengus. Nafasnya berat. Sebelum ia melakukan sesuatu yang lain, seseorang menepuk punggungnya. 

"Halo, saya Dinan, teman Ayahnya Felicia. Apa kamu teman Felicia?" Seorang laki-laki paruh baya itu bertanya. Saking ramainya kedai kopi itu, Rahiel tidak mendengarnya. 

Rahiel yang melihat raut wajah lelaki itu, merasa kalau itu adalah percakapan penting. Jadi Rahiel menyarankan agar membicarakannya di tempat yang agak sepi, supaya lebih jelas.

"Maaf, apa bisa kita bicarakan diluar?" Rahiel bertanya dengan volume agak keras. Laki-laki itu mengangguk, lalu tersenyum samar. 

Mereka berdua keluar dan jauh dari kerumunan. Saat Rahiel hendak bertanya hal yang sama, tangannya dipegang oleh 2 orang laki-laki yang tersenyum licik. 

Dia terlambat.

"Kalian mau ap-- MMM!" 

Lalu semuanya berubah menjadi hitam.


---



"Gue dimana?" Rahiel bergumam pelan. Ia pusing sekali. Sangat pusing.

"Diam lo! Pokoknya, jangan macem-macem sama kita!" Bentak lelaki yang berada di ... sampingnya. 

Di sampingnya. Iya, ini hanya menurut insting Rahiel. Cewek itu tidak bisa melihat, matanya ditutup oleh kain hitam. Terlebih, ia tidak memakai kacamata. Lengkap sudah. 

Rahiel masih tidak bisa berfikir. Namun ia tidak takut, sama sekali tidak. Bahkan Rahiel sedang mencari cara agar dapat kabur dari semua lelaki yang ada di mobil ini. Walaupun begitu, Rahiel tetap tampak tenang. Ia masih percaya kalau tuhan akan menjaga dirinya.

"Woi, jangan ngelamun lo! turun!" Laki-laki yang membentak Rahiel tadi mengulangi hal yang serupa. Membentak. Itu adalah hal yang paling Rahiel benci. Siapa dia? Ada hak apa dia sampai membentak-bentak Rahiel? 

[RGS 1] To, Aidan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang