dua puluh enam

113 11 3
                                    

"Gue juga gak ngerti, Rahiel. Gak ngerti sama sikap lo. Yang gue kira lo cuma hangat ke gue itu ternyata salah. Salah besar. Matahari emang bersinar, tapi sinarnya dipancarkan buat semua orang."  

--------------------------------------

Rahiel akhirnya menemukan Aidan. Setelah ia menggeledah hampir seluruh bar dan club yang ada di Jakarta Pusat dan Selatan, Rahiel akhirnya menemukan Aidan. 

Cowok itu tengah mabuk. Entah berapa banyak kadar alkohol yang ditegaknya, Rahiel menemukannya dalam keadaan bengong, sekitar hampir jam dua dini hari. 

"Aidan!" Rahiel berteriak. 

Rahiel sama sekali tidak marah, tidak emosi. Bahkan ia sangat bersyukur karena ia dibantu oleh satpam di bar itu. Ia bahkan sangat bersyukur ketika dirinya bertemu dengan Aidan. 

"Lo?" Aidan menatap Rahiel dengan sinis begitu Rahiel duduk di depannya. "Lo siapa? Ngapain lo kesini?" tanya Aidan dingin. 

Tubuh Rahiel menegang, "Gue Rahiel," jawabnya ragu. "Gue mau lo pulang sama gue, sekarang."

"Emangnya lo siapa gue, Rahiel?" Aidan menatap tajam iris Rahiel. Membuat cewek itu diam sesaat. "Gue bisa kesini, kapanpun. Dan bisa pulang sendiri, terserah gue kapan mau pulang."

Ini bukan Aidan yang Rahiel kenal. Lagipula, kenapa Aidan bisa sampai ada disini sih? 

"Just stop drinking and follow me!"

Rahiel benar-benar sudah tidak tahan. Rahiel tahu kok, Aidan sudah tidak ada tenaga, jadi Rahiel menyeret Aidan keluar. 

Rontaan Aidan tidak ada artinya, bahkan satpam hanya diam karena Rahiel sudah memberi tahu niatnya. 

Rahiel dan Aidan masuk ke mobil. Lalu hening. 

"Aidan." Rahiel membuka mulut karena melihat Aidan berusaha keluar dari mobil Rahiel. "Jangan keluar lagi," pintanya. 

Aidan berhenti. Namun tidak menjawab.

"Aidan lo kenapa? Cerita sama gue." Rahiel menatap mata Aidan dengan perasaan campur aduk. 

Iris cokelat Rahiel tidak sehangat biasanya, pipi tembam Rahiel tidak semenggemaskan biasanya. Setidaknya, itu anggapan Aidan. Ketika Rahiel ingin memeluk Aidan, cowok itu menepis tangan Rahiel. 

"Gak usah peluk-peluk." Aidan meracau. "Lo, lo yang bikin gua begini tau gak?"

"Gue tuh bingung, Rahiel. Setiap gue nemu waktu yang pas buat berduaan sama lo, ada aja yang ngehalangin. Giliran lo udah bebas, gue ada yang larang-larang." Aidan menunjuk-nunjuk Rahiel dengan gusar. "Gue juga gak ngerti, Rahiel. Gak ngerti sama sikap lo. Yang gue kira lo cuma hangat ke gue itu ternyata salah. Salah besar. Matahari emang bersinar, tapi sinarnya dipancarkan buat semua orang."

Rahiel membisu. Tubuhnya sudah menjauh dari tubuh Aidan. 

Mata Aidan terpejam. "Gue juga gak suka ada orang yang nyakitin lo, terlebih itu karena gue. Gue gak bisa!" Nada suara Aidan mulai berubah. "Gue sayang sama lo, tapi kalau kehadiran gue ngebuat lo sakit? Gue rela sakit hati, cukup sekali aja rampok sialan itu--"

Rahiel sama sekali tidak mengerti. Namun ia menghentikan ucapan Aidan. 

"Aidan, stop it. Lo tidur aja, okay?" ucap Rahiel dengan nada lembut. 

Dan Aidan hanya mengucapkan, "Gue sayang lo. Gue sayang banget sama lo." Lalu ia tertidur. 

Dan Rahiel memang tidak bisa membendung emosinya. Rasa penasarannya, serta perasaan bersalahnya kepada Aidan. Apa karenanya Aidan jadi begini? Apa ini salahnya?

[RGS 1] To, Aidan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang