Author POV
Sabtu adalah hari yang membuat hampir seluruh anak sekolah senang, karena mereka terbebas dari pelajaran yang membuat mereka pusing.
Tapi lain dengan Velove yang masih terbawa suasana sedih di hatinya karena kekecewaan nya pada Nathan.
Bahkan jika bisa dia ingin memutar waktu, di mana dia tak pernah kenal yang namanya Nathan, Velove yang masih sangat polos dengan kata "cinta", bahkan dia ingin segera pergi dari kenyataan yang pahit itu.
Baru saja duduk di sofa ruang tamu, Velove sudah syok karena mendengar suara di depan rumahnya, tepatnya di pintu rumahnya
"Selamat siang" bunyi suara itu.Bagaimana tidak syok dia mengenali benar suara tersebut, dan itu adalah suara orang yang sudah membuat hatinya rapuh, Nathan.
Dengan hati yang tenang, Velove menghela nafasnya lalu berjalan menuju ke arah pintu untuk membukakan pintu bagi orang itu.
"Vel" panggil Nathan setelah pintu terbuka, memasang tampang yang menyedihkan dan kepalanya sedikit menunduk ke bawah.
"Lo udah gak ada lagi dalam daftar orang yang gue kenal, mendingan lo pergi, sebelum kakak gue turun, dan ngusir lo!" ucap Velove yang sebenarnya tak ikhlas mengeluarkan kata-katanya itu, namun mau tidak mau dia harus menyuruh Nathan pulang, sebelum kakaknya turun dan mengusir nya, dia lebih tak tega jika kakaknya yang mengusir Nathan.
"Vel, gue udah punya buk-" ucap Nathan langsung dipotong Velove.
"Udahlah Nat, udah cukup banyak bukti buat gue, kakak gue, sahabat gue, dan bahkan gue sendiri sudah melihat kenyataan yang ada" ucap Velove dengan tampang yang sangat lemas.
Tiba-tiba terdengar suara dari ruang tamu, yah itu adalah suara televisi dirumah Velove, lebih tepatnya suara itu adalah suara video yang di putar. Velove pun beralih menatap ke arah televisi tersebut. Lima belas menit berlalu, Velove dan Nathan masih di posisi yang sama, di pintu rumah itu.
Air mata mulai keluar dari mata Velove, melihat kenyataan yang ada, Velove masih terdiam di tempat dan menunduk malu, ia merasa sangat bersalah kepada Nathan, karena dia telah salah paham kepada Nathan, bahkan dia sampai mengusir dan membentak Nathan, ia merasa bersalah telah mengambil kesimpulan sebelum mencari kebenaran dari kejadian-kejadian itu. Nathan masih terdiam di tempat dan belum bisa membendung air mata Velove, deras, sangat deras air mata Velove bercucuran keluar dari matanya.
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, suara itu adalah suara Briliant
"Lo salah Vel"
"Selama ini, Nathan nggak kayak yang lo pikirkan"
"Lo cepat banget keluarin kata putus, tanpa lo tau kebenaran nya"Suara lainnya berbunyi, dan suara itu adalah suara Gabhy.
"Yah, emang awalnya pahit, tapi begitulah"
"Yups, tapi bukan seorang lelaki yang kuat seperti Nathan, yang tetap dengan prinsipnya untuk mencari kebenaran"
"Bahkan, gue sempat berpikir bahwa Nathan itu brengsek, udah berani main di belakang sahabat gue"
"Gue sempat ragu dengan Nathan"
"Tapi perlahan gue mulai kontrol emosi gue, perlahan gue mulai percaya dengan Nathan, mulai percaya bahwa Nathan lah yang jadi korban di sini"Sambung Briliant lagi.
"Gue sempat marah sama Nathan"
"Karena dia bilang kalo dia berduaan dengan cewek, dan cewek itu bukan lo"
"Tapi perlahan juga gue mulai simpati sama Nathan, dan mau membantu dia mengungkapkan semua kelicikan itu"
"Bahkan gue yang atur rencana kemarin"Ucap Gabhy lagi.
"Lo pasti merasa sangat bersalah"
"Yups, gue ajak lo ke cafe kemarin, karena ingin membuat lo semakin marah dengan Nathan"
"Itu adalah bagian dari rencana kita"
"Dari kejadian ini lo harus belajar, untuk saling percaya, kita sengaja buat lo makin marah ke Nathan karena nanti lo akan semakin merasa bersalah jika mengetahui semuanya, dan itu yang membuat lo akan semakin dewasa dalam berpikir, bahwa apa yang lo liat, belum tentu benar"
"Belajarlah untuk mengontrol emosi lo"
"Jangan biarkan emosi menguasai diri lo, bukan hanya Nathan, bahkan orang-orang terdekat lo akan hilang satu persatu, jika lo nggak bisa kontrol emosi lo"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream
Teen Fiction"Mimpi..." "Mimpi itu memang sudah menjadi kenyataan, tapi kenapa hanya untuk sesaat saja?" "Kenapa dia hadir dalam hidupku? menjadi mimpiku? tapi hanya sekedar datang lalu pergi" "Apa mungkin, Nathan ternyata bukan mimpi ku?"