Bab 3. Kencan Buta Kedua

3.3K 292 19
                                    

"MAMAA!!"

Hal pertama yang terjadi saat Maya tiba di rumah adalah Ella. Anaknya itu menyambutnya dengan antusias. Mekipun Ella bukan anak kandungnya, dia telah mengisi kekosongan Maya selama masa sulit perasaannya.

Maya tersenyum, ia mengusap rambut Ella dengan sayang. "Bagaimana sekolah hari ini sayang?" Biasanya Maya akan bertanya mengenai hal ini saat perjalanan pulang setelah menjemput Ella. Salahkan saja kencan sialan itu yang membuat ia harus kerja dengan jam istirahat hanya lima menit itu. Jadi urusan jemput menjemput Maya serahkan kepada Dennis.

"Menyenangkan, Ma!" Ella melompat riang. "Tapi, tadi pas pulang, Ella liat ada anak kelas satu yang nangis karena diganggu teman kelasnya, Ma."

"Terus Ella cuma liat aja?"

Ella menggeleng tegas. "Nggak, Ma. Tadi Ella usir anak-anak itu! Kasian udah sering diganggu gitu!"

"Pintar! Anak Mama udah besar sekarang."

Terkadang Maya merasa iba dengan cepatnya tingkat kedewasaan anak-anak karena perkembangan zaman. Dulu, pembully-an sangat jarang dilakukan oleh anak SD mana masih kelas satu. Sungguh, menurutnya inilah dampak dari perkembangan teknologi yang semakin gampang untuk dapatkan, hingga penyaringan atas apa saja hal yang patut di terima atau pun tidak menjadi salah penafsiran atau bahkan memiliki penafsiran ganda. Di sinilah peran orang tua dalam membimbing, meski pun ada juga kalanya kecolongan dalam hal mendidik ini.

Teknologi juga sepenuhnya tidak dapat di salahkan. Maksudnya baik agar mempermudah manusia. Penyiaran pertelevisian juga tidak dapat pula di salahkan atas semakin berkurang film kartun dan lebih marak sinetron-sinetron serta lawakan. Itu juga karena sinetron beserta lawakan laku keras di pasaran. Juga ... bukankah setiap hal itu pasti ada timbal balik hal baik juga buruk. Ini sama halnya dengan pandai-pandai menyikapi dan membatasi. Akhirnya juga kembali kepada pengontrolan diri sendiri.

"Tapi Ella nggak ngerti kenapa mereka menjahati anak itu karena nggak punya Mama."

Alis Maya berkerut bingung. "Maksudnya Sayang?"

Ella memeluk Maya Erat. "Iya, Ma. Anak itu nangis karena teman-temannya menertawakannya yang nggak punya Mama lagi."

Seketika hati Maya terasa sakit. Ia memeluk Ella semakin erat. Ya, Maya mengerti perasaan anak itu karena dulu saat orang tuanya berpisah dan saat itu Ayahnya belum menikah lagi, Maya merasakan kehampaan hidup tanpa sosok seorang Ibu. Saliva Maya terasa tertahan di kerongkongan. Ia seakan baru saja mendapatkan tamparan keras.

Bagaimana ... jika hal yang dialami oleh anak itu sama dengan Ella yang juga tidak merasakan kasih sayang seorang Ayah? Sanggupkah Maya juga Ella berada di posisi anak itu?

Tidak Maya tentu tidak akan sanggup melihat Ella-nya mengalami hal seperti itu ....

===oOo===

Maya harus siap-siap mental.

Daripada ia yang duluan bertanya, sebaiknya langsung saja melapor ke para tetua.

"Oma, gagal."

"Oh. Nih pilih."

Tumpukan foto-foto diserahkan ke Maya.

Eh?

Semudah itu?

"Oma nggak nanya kenapa gagal?"

"Karena brondong?" Mereka menjawab serempak.

Rika menarik balok domino menyodorkan ke tengah meja. Sara dan Dara fokus dengan balok-balok milik mereka. Menghiraukan Maya.

Melihat para oma yang tengah sibuk dengan dunia mereka Maya bersyukur. Ini diluar prediksi. Perasaan cemas yang sedari tadi Maya takutkan, terasa sia-sia.

Kening Maya berkerut dalam, kali ini ia akan memilih dengan serius dari sekian tumpukan foto-foto ini. Melihat banyaknya lembar foto di tangannya membuat Maya bertanya-tanya berapa banyak kenalan para oma?

Ternyata di sudut foto terdapat nama dan umur pria calon kencan butanya. Pertama Maya melewati pria-pria brownis (berondong manis) dan pria dengan umur di bawahnya. Bukan bermaksud memberi streotip atas umur, jika bisa memilih Maya akan memilih. Setidaknya tidak ingin mengalami kejadian seperti kemarin.

"Kayaknya ini ... ok?"

Di tangan Maya ada foto pria bernama Aldi Sanjaya dengan keterangan umur 35. Sepertinya tidak masalah. Maya menyerahkan foto itu kepada Oma Rika.

Para oma menghentikan kekusutan mereka menentukan balok domino mana yang hendak mereka keluarkan. Menatap foto yang dipilih Maya.

"Kali ini sasarannya dengan umur lebih muda." Dara melihat umur yang ada di bawah foto.

"Boleh juga," Sara menangguk. "Kemarin umur berapa, May?"

"27 tahun Oma." Pria itu masih membuat Maya kesal.

"Yaudah, kontaknya ada di belakang foto. Kamu salin aja sendiri." Oma Rika mengusir Maya, mereka kembali fokus bermain.

Ketika Maya keluar kamar para oma, ia mendengar suara mereka tengah berdiskusi dengan suara rendah mendekati berbisik .

"Siapa yang kemarin bilang kencannya berhasil? Sini uangnya."

"Kali ini pasti berhasil."

"Aku yakin, auto gagal."

===oOo===

"Saya Maya."

"Aldi."

Dalam hitungan satu detik pria itu menjabat tangannya hanya sentuhan ujung jari dan segera mengeluarkan benda-benda di saku jasnya. Dia menyemprotkan benda itu di sekitar dan kemudian ke tangannya yang sehabis berjabat dengan Maya, mengelap tangan, lalu menuangkan cairan dari botol lain ke tangannya.

Apa itu cairan disinfektan dan hand sanitizer?

Maya menatap tangannya yang habis berjabat tangan dengan pria itu.

Kenapa ia merasa seakan bagai virus mematikan?

Pria itu mengangkat tas kerja besar di atas meja dan membukanya.

Bulatan kelopak mata Maya semakin membesar.

Itu ...

Itu ...

Housekeeping bags?

Matanya berkedip-kedip linglung, sementara pria bernama Aldi di depannya sama sekali tidak acuh dengan reaksi Maya.

Dia mengeluarkan semprotan dengan kain lap, mengelap meja. Setelah selesai dilap, kembali dia mengambil lap lain di dalam tas menyemprotkan lagi meja, mengelap kembali.

Begitu sampai tiga kali berturut-turut.

Bahkan saat ini Maya bisa melihat dengan mata telanjang kekesatan kilauan meja tempat ia duduk.

Pria itu kali ini mengeluarkan wadah diisi air dan mencuci tangannya. Kemudian meyemprotkan tangan, dilap, buka botol lain tuangkan gel balurkan ke tangan lalu lap.

Cukup yakin, pria ini mengalami OCD kebersihan parah.

Maya pernah melihat orang yang mengalami COD, tapi tidak separah pria di depannya.

Setelah makan dipesan, kembali rutinitas kebersihan dilakuakan oleh pria itu.

Dari awal mereka memperkenalkan diri, mereka tidak ada berbicara lagi. Pria itu sibuk dengan dunia kebersihannya, membersihkan area dan peralatan miliknya tanpa melirik Maya.

Kali ini Maya yakin, di mata pria ini dia tidak lebih sekadar virus yang juga wajib dibasmi serta diisolasikan.

Lambung Maya yang belum ada diisi makanan dari tadi pagi mulai berbunyi. Tapi melihat pria yang masih bersih-bersih di depannya membuat Maya tidak enak hati untuk makan duluan.

10 menit, 15 menit, bahkan hampir setengah jam ia menunggu. Peralatan itu telah menghantarkan bunyi-bunyi mengkilap, hanya seakan di mata pria itu terpasang kaca pembesar kembali ia membersihkan.

Di dalam hati, Maya sudah lama melambaikan bendera putih.
😭

Blind Date (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang