Bab 5. Bangsyattt

3.1K 206 18
                                    

Maya memperhatikan gaun pengantin yang kini telah melekat indah pada seorang wanita bernama Anggun. Anggun adalah salah seorang pelanggan di butiknya. Berhubung Anggun ini akan menikah, wanita itu tidak lupa memesan gaun pengantin kepada Maya yang telah dia ketahui bagaimana hasil rancangannya.

"Gimana, Mbak?" tanya wanita itu takut-takut. Sesekali menatap cermin akan pantulan dirinya di sana.

"Hmm, bagus. Menurut saya, gaun itu sangat pas melekat di tubuh kamu."

"Mbak nggak bilang gitu karena ini gaun rancangan Mbak, kan?"

Maya tersenyum maklum. Bukan sekali-dua kali ia mendapati reaksi seperti saat ini. Hal seperti ini adalah hal wajar, mengenang gaun itu adalah gaun yang akan dikenakan saat pernikahan.

Hal bernama sindrom pranikah akan sangat berasa. Contohnya saja seperti saat ini, para pelanggan wanita kebanyakan akan reaksi kurang percaya diri, tertekan, dan merasa semua kurang nyaman. Padahal, jelas-jelas gaun tersebut sangatlah memukau dan pas melekat di tubuh wanita itu. Seperti gaun tersebut tercipta hanya untuk digunakan oleh wanita itu saja.

"Tapi ... aku selalu merasa minder Mbak dengan warna kulit saya jika mengenakan pakaian berwarna putih."

Memang, kulit Anggun berwarna sawo matang. Padahal standar kecantikan tiap orang berbeda. Asia memang menerapkan standar warna kulit putih. Padahal warna kebanyakan masyarakat asli di negara ini tidak putih.

Sayang disayangkan, bukan berarti gaun tersebut tidak cocok jika dipadukan dengan warna kulitnya. Bahkan seperti Maya katakan tadi bahwa gaun tersebut sangat cocok terlihat elegan jika Anggun kenakan.

"Cocok atau nggaknya warna pakaian itu ... tergantung pemakainya. Ada kok, baju yang dipadukan secara nekat tapi tetap terlihat bagus saat sang pemakai sangat percaya dengan apa yang dipakainya."

"Tapi Mbak .... Aduh ... gimana ya Mbak ... atau aku ganti warna gaun dan juga diet aja, ya?"

Tangan Maya terulur menyentuh gaun tersebut tepat di pinggang, ia menariknya pelan. "Lihat, diet seperti apa lagi sedangkan gaun ini masih longgar beberapa senti saat kamu kenakan. Diet yang berlebihan, nggak baik. Usahakan diet dengan mengoptimalkan konsumsi empat sehat lima sempurna. Minum air putih dulu segelas sebelum makan."

Meski telah melihat bahwa apa yang dikatakan Maya benar, Anggun tetap merasa tidak nyaman. Sadar akan reaksi tidak yakin pelanggannya, Maya hanya bisa tersenyum. "Gini, deh. Coba kamu keluar dulu. Kita lihat, bagaimana tanggapan pasangan kamu atas gaun yang kamu kenakan ini. Jika dia tidak suka, saya tidak masalah jika mengganti dengan gaun lain." Maya menarik tangan Anggun untuk keluar dari ruang ganti.

Ketika pintu dibuka, terlihat seorang pria tengah duduk di sofa yang memang disediakan untuk tamu menunggu. Pria itu mengalihkan pandangannya dari tablet ketika mendengar suara pintu terbuka.

Demi menjaga keamanan Maya menetapkan agar ruang ganti di butiknya di tutupi dengan pintu, tetapi tetap sebelum pintu Maya memasang tirai gunanya jika pintu lupa ditutup masih ada tirai yang menutupi.

Calon mempelai pria yang Maya ketahui bernama Devan itu tidak dapat menyembunyikan reaksi keterpanaannya terhadap sosok Anggun yang mengenakan gaun pengantin. Sedangkan Anggun meremas-remas kedua tangannya menanti reaksi Devan atas gaun rancangan Maya.

"Ehem." Maya mendehem menyadarkan reaksi Devan. "Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah pakaian ini cocok?" tanya Maya menarik Anggun untuk berjalan mendekati Devan.

Devan tersenyum, senyum pria itu sangat menawan sarat akan ketulusan. "Sangat bagus. Saya sampai pangling melihat dirinya."

Maya tersenyum puas. Ia menundukkan kepala, berbisik di telinga Anggun. "Kamu lihat, 'kan? Bagaimana tanggapan pasangan kamu. Memang tidak selamanya apa yang kita anggap tidak bagus belum tentu tidak bagus dalam pandangan orang lain."

Blind Date (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang