Setelah anak-anak selesai berkunjung dan kembali ke rumah masing-masing. Maya dan Angkasa menatap satu persatu kendaraan yang semakin jauh dari pandangan.
"Rumah semakin sepi."
Maya menatap sedih. Biasanya ada anak-anak yang meramaikan suasana, tapi tanpa terasa waktu cepat berlalu, mereka telah membentuk keluarga kecil sendiri. Rumah yang dulu terasa sempit, kini menjadi luas dalam pandangan.
Angkasa juga menatap sendu. Matanya sekilas melirik halaman depan rumah. Rasanya baru beberapa hari mereka menatap anak-anak bermain riang di taman. Bayang tawa riang mereka memenuhi pikiran Angkasa.
Kembali Maya menghela napas untuk yang kesekian kalinya.
Pikiran Angkasa kembali saat mendengar suara helaan napas Maya. Mencoba menyingkirkan perasaan masam, membujuk Maya dengan lembut, "Waktu akan selalu berlalu, tidak pernah menunggu. Kita masih bisa mengunjungi mereka."
Ding dong
Maya segera membuka pintu. Ada Cristian dan Metta. Dia sedikit kecewa, dikira anak-anak kembali karena ada yang lupa. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan anak-anaknya.
"Hai. Maya, Angkasa~"
Tanpa izin dari Maya, setelah pintu terbuka Cristian dan Metta masuk begitu saja. Dengan santai duduk di sofa.
Ruangan yang sepi, seperti rumah mereka. Metta menatap serius sahabatnya, mulai membuka suara, "Anak-anak kita sudah menikah semua. Aku dan Cristian mau traveling. Kalian ikut nggak?" tanya Metta dengan penuh semangat.
Cristian mengangguk berusaha memberi pencerahan, "Selama tubuh kita masih kuat, ayo kita jalan-jalan. Aku baru saja pensiun dan Angkasa juga. Jadinya kita punya banyak waktu luang."
"Iya, ngapain kita di rumah aja. Bosan, sepi pun iya."
Maya dan Angkasa saling memandang. Suara bujukan Cristian dan Metta masih menggema. Biasanya mereka berempat akan bepergian setahun sekali. Memanfaatkan cuti tahunan Angkasa dan Cristian. Kali ini sepertinya, mereka akan bepergian dalam waktu panjang.
Mulai hari itu mereka berempat memulai perjalanan. Ketika mendapati tempat yang indah, mereka akan mengabadikan momen. Saat hendak pergi dari satu tempat, mereka akan membeli produk khusus untuk dikirim ke anak mereka.
Seiring waktu pikiran akan rasa sepi mulai tergerus dengan menyibukkan diri dalam perjalanan.
Hingga pada akhirnya, mereka memilih untuk membangun rumah di Desa Suka Maju, suasana penginapan di sana tidak tergantikan.
Pemandangan perkotaan dengan dipenuhi bangunan pencakar langit, telah tergantikan dengan bangunan sederhana. Namun, di usia senja mereka inilah yang diinginkan.
Rumah mereka saling bersebelahan dengan pekarangan yang luas. Pekarangan dipenuhi dengan sayuran dan bumbu masakan. Mereka berempat akan bercocok tamam menghabiskan waktu.
Pagi-pagi mereka akan maraton, sapaan warga desa dengan ramah terdengar. Di siang hari, mereka akan menghabiskan waktu dengan warga desa berbincang mengenai hal-hal kecil seperti bercocok taman, atau juga meningkatkan cara mengeksplorasi hasil panen melalui saluran kontak anak-anak mereka. Situasi perekonomian warga desa dalam pernatian semakin makmur berkat bantuan mereka. Malamnya mereka akan berbincang hingga kantuk menghadang.
Hidup mereka sederhana, tapi bagi mereka inilah kehabagiaan.
Ketika mereka berempat berjemur di kursi goyang, menikmati pemandangan akan ladang kecil mereka yang tengah subur, terdengar suara nyaring.
"Kakek ... Nenek ...."
Suara banyak kaki berlari kecil sangat terdengar di lantai kayu.
Begitu mereka sadar, ada tangan kecil yang ikut berayun di kursi goyang. Seketika mereka dikelilingi oleh para cucu.
Maya melihat Ella dan suaminya masuk, Tama masuk bersama Ghezy yang tengah membantu Karina dan Mike berjalan. Tidak lama di belakang juga ada Tita dengan Tata berjalan menghampiri Cristian dan Metta. Perlahan-lahan, halaman rumah mulai dipenuhi oleh anak-anak berserta cucu mereka.
"Ramai begini ada acara apa?" Maya bertanya dengan heran. Bahkan Karina yang telah sulit berjalan mengunjunginya secara mendadak. Ia sangat tercengang.
"Selamat ulang tahun Kakek ... Nenek."
"Selamat ulang tahun Mama." Maya dipeluk bergantian oleh anak-anak dan cucunya. Ketika ia melihat ke samping, Cristian dan Mike juga tengah dipeluk.
Mereka bertiga memiliki tanggal kelahiran yang sama.
"Kalian udah tahu?" Maya menatap Angkasa dan Metta yang tengah tersenyum.
"Anak-anak sudah mengabari aku, Ay. Selamat ulang tahun yang ke tujuh puluh tahun. Terima kasih telah lahir ke dunia dan menemaniku."
Maya mendengus mengambil bunga yang entah sejak kapan ada di tangan Angkasa.
Melihat tatapan menggoda setiap orang yang hadir membuat Maya malu.
"Ayo, bawa kuenya." Ella memerintahkan Tama, Tita, dan Gavril mendorong kue yang ukurannya lumayan besar. Terdapat nama mereka bertiga di sana dengan lilin angka tujuh puluh.
Layar televisi mulai menampilkan foto-foto lama mereka. Bahkan Maya tidak tahu, sejak kapan anak-anak mengoperasikan televisi hingga menampilkan foto penuh kenangan mereka.
Suara tawa mulai terdengar saat tampilan foto dapur Metta dipenuhi foto narsis mereka dengan dirinya dan Angkasa sebagai latar belakang.
Mengingat dapur pasangan itu, Maya jadi ingat saat pertama kali ia dan Angkasa menemukan. Sungguh lucu.
Berangsur-angsur tampilan foto berganti. Dari fotonya ke Mike hingga Cristian. Hingga foto pernikahan sampai interaksi dengan anak-anak beserta cucu. Menatap perubahan wajah dirinya dari muda hingga tua, Maya semakin merasa waktu begitu cepat berlalu.
"Ayo Kakek, Nenek, potong kuenya," teriak salah satu cucu yang telah ngiler dengan kue.
"Jangan potong dulu kuenya. Kita foto dulu." Tata anak kedua pasangan Cristian-Metta mulai fokus menyetel kamera. Kegemaran Tata dalam fotografi mengikuti Metta. Bahkan studio yang didirikan Metta kini diberikan kepada Tata.
Tata mulai menyusun semua orang yang hadir. Menyetel waktu pengambilan kamera agar membidik foto secara otomatis.
Ketika suara hitungan mulai terdengar. Tata berbari masuk ke dalam rombongan. Dihitungan kelima, suara Tata mulai terdengar. "Lima ... empat ...."
Yang lain mengikuti menghitung mundur, berteriak bersama.
"Tiga ...."
"Dua ...."
"Satu. Cheese!"
Di dalam foto bersama, terlihat penampilan seluruh keluarga dengan wajah penuh senyuman.
Tamat.
Akhir kata, tidak bosan aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membaca ceritaku --Blind Date. Terima kasih banyak terkhusus untuk teman-teman yang telah mengikuti ceritaku sepanjang jalan. Sungguh, terima kasih banyak.
Salam hangat,
Narayaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date (Completed)
Roman d'amourDi saat saudara kembar dan teman-temannya telah menikah, Maya bertahan dengan kesendiriannya. Bahkan ia sampai mengadopsi anak dan membesarkan sendiri. Bagi Maya itu tidak masalah. Namun, tidak dengan para tetua. Mereka tidak setuju dengan kesendi...