Bab 13. Sebuah Kata 'Maaf'

3.1K 268 56
                                    

Bab 13

Sebuah Kata 'Maaf'

Maaf ...
acap kali kata itu...
begitu mudah diutarakan,
dilepas,
dan ... didustai,
tetapi sejatinya kata itu...
tak begitu mudah terungkapkan,
terlupakan,
dan ... termaafkan.

--------------------------------------------------------------

Ada banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan kita, tetapi sering kali tidak kita sadari. Seperti sebuah perjumpaan tanpa disengaja, bersikap tak acuh dan berlalu begitu saja. Terkadang dua orang yang sering berada dalam satu angkutan umum, sering berpapasan ketika di jalan maupun di sebuah tempat, mereka sempat karena satu fase yaitu 'tidak saling mengenal' sehingga pertemuan itu lama-lama terkikis oleh waktu hingga terlupakan beberapa detik saja. Dan, siapa sangka bahwa sesungguhnya orang yang saat ini tengah menjalin hubungan dengan kita merupakan orang-orang itu?

Tentu saja kita akan merasa tidak asing dengan wajahnya, tetapi jika diingat-ingat pastinya akan lupa. Begitulah hidup ini, penuh dengan untaian kejadian-kejadian tak terduga.

Layaknya dengan apa yang saat ini terjadi di dalam hidup Maya. Siapa sangka bahwa pasangan kencan butanya adalah Angkasa? Parahnya lagi Angkasa itu adalah papanya Tama.

"AHH!"

Maya mengusap-usap wajahnya kasar, memandang pantulan wajahnya di depan cermin toilet untuk menguatkan hati, serta pikiran menghadapi hal yang telah menantinya di meja nomor 13 itu. "Semangat Maya!"

Dengan langkah mantap Maya keluar dari persembunyiannya, ia mengepalkan kedua tangan. Lagi, lagi, dan lagi, entah skenario apa yang hendak tercipta. Maya memandang seseorang dari pintu sebelah yang menginjakkan kaki di pintu keluar toilet pada waktu bersamaan dengan dirinya. Dan, pria itu adalah Angkasa.

"Ha ... hai ...," sapa Maya dengan suara mencicit, tangannya kanannya terangkat ke atas tepat di samping kepala seperti hendak melakukan hormat kepada abdi negara.

Angkasa menganggukkan kepalanya kaku seraya membalas dengan melakukan gerakan serupa. Kemudian dia tersadar, menurunkan tangan. Sungguh, sepertinya saat ini pikiran waras mereka telah berkelana dan terdampar entah di mana. Tanpa mereka sadari, sekali lagi mereka diam-diam menjadi tontonan gratis bagi beberapa penghuni restoran saat itu, termasuk para oknum dari pertemuan mereka yang sedari tadi ter-kikik geli menyaksikan interaksi menggelikan dari arah meja mereka.

Hanya saja reaksi di meja tempat para oknum-oknum itu tengah bernaung, ada satu orang yang tengah memasang ekspresi berbeda. Orang itu adalah Tama. Dia saat ini bahkan menyaksikan tingkah papanya dengan mulut menganga lebar. Tidak percaya dengan penglihatan dari mata kepalanya sendiri. Maklum saja, begini-begini dia masih anak berusia enam setengah tahun, hal seperti ini belumlah masuk dalam benaknya. Dia menyetujui ikut andil dengan Ella saja, itu karena dengan piawai-nya Ella menjabarkan tujuan serta bujuk rayu.

"Hap!"

Tama tersentak dari lamunannya, dia menatap Ella yang kini tengah memasang wajah tanpa bersalah setelah mencolek wajanya dengan es krim.

"Entar masuk lalat!" tegur Ella sambil sekali lagi mencoret lelehan es krim itu ke pipi Tama yang masih menganga seperti goa dengan lebarnya.

"Kak, tadi itu Papa dan Tante Maya sedang melakukan apa?" tanya Tama tanpa memperdulikan kedua pipi kiri-kanannya kini terdapat coretan yang diberi Ella dari es krim yang terdapat pada gelas pertama mereka.

"Mungkin sedang memperingati hari kemerdekaan." Lebih tepatnya hari kemerdekaan mereka, tambah Ella di dalam hati.

"Tapi, Kak, 17 Agustus itu masih dua bulan lagi."

Blind Date (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang