"Kamu jangan egois!"
Suara hardikan itu membuat seorang wanita yang sedari tadi bergelut dengan pensil dan kertas sketsa terperanjat dari kursi putarnya, ia menatap wanita di hadapannya dengan pandangan penuh tanya akan aksi tidak wajar dari wanita itu.
Selama beberapa saat, ruangan kerjanya seakan diselimuti keheningan, untung saja ada bunyi pergeseran jarum jam dinding yang sedari tadi memenuhi ruangan tempat kedua wanita itu saling beradu pandang. Bunyi ketukan-ketukan dari jarum jam itu, terdengar bagai alunan musik penguat hawa ketegangan di antara mereka.
Salah satu dari mereka memutuskan pandangan terlebih dulu, wanita yang tengah duduk di kursi itu memilih untuk mengalah, ia mempersilahkan orang yang telah memakinya itu untuk duduk terlebih dahulu sebelum mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
"Aku nggak egois, ya," kata Maya setelah beberapa saat menutup mata seraya menetralkan rasa keterkejutan atas makian mendadak dari tamu wanita yang ia sayangi itu.
Wanita itu─Karina, memutar bola matanya malas, dia mendengus kesal, menatap wanita di seberang sana dengan jengah. "Oh, jadi tindakan kekanakan kamu itu bukan hal egois? Mendiami para oma layaknya anak kecil yang lagi ngambek itu nggak egois?" tanyanya sarkastis. Karina langsung saja mengambil duduk di kursi yang tepat berada di depan meja kerja Maya.
Tatapan Maya menatap Karina. "Aku tau kamu disuap para Oma dengan buku misteri yang dimenangkan mereka di pelelangan."
"Gimana kamu tau?" Karina sadar atas kecerobohannya dengan menyuarakan suara hati. Dia menutupi bibirnya, memasang raut sedih agar segera terlepas dari tatapan tuduhan Maya. "Ini hanya bonus. Aku tanpa diminta bakal bujuk kamu juga, May. Kasian sama kembaran suamiku ini."
Maya mengikuti ekspresi sedih Karina, ikut-ikutan menjual kesedihan. "Coba kamu di posisi aku, seharusnya kamu mengerti. Dulu aja kamu menolak lamaran Mike."
Karina yang telah merasa bersalah mulai melangkah mundur, memelankan nadanya. Bagaimanapun ia memiliki hati nurani dan perasaan tidak bisa dipaksakan. "Ok, tapi setidaknya aku bisa dibujuk," jawabnya berkilah. "lah, kalau kamu? Oh my God, Maya! Ini sudah seminggu lamanya kamu mendiami para Oma!" Karina menjerit frustrasi, setengah berteriak, mengusap kasar wajah dengan kedua telapak tangan.
Maya memutar-mutar pensil di tangan kirinya, lalu menutup buku sketsa. Ia menarik napas dalam, sesungguhnya saat ini ia tengah dilanda kekalutan, tapi berusaha untuk tetap tenang karena ia tahu bahwa tidak selayaknya api dilawan dengan api.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyanya dengan nada malas.
"Ya kamu hubungi lah para Oma! Berdamai! Itu aja susah!"
"Dan, menyetujui ide para Oma? Kamu tau ... bahkan itu sama saja dengan aku dijodohin."
Karina mengangguk, dia mengibas-ngibaskan tangan kanannya. "Alaaah, entar juga kamu kecantol juga!"
"Kamu tau apa jawabanku tentunya."
"Well, lalu apa bedanya dengan kencan buta, Sist? Bukankah sama saja dengan perjodohan?"
Karina mendecak kesal, ia mengeluarkan ponselnya. "aku nggak mau tau ya, pokoknya sekarang hubungi Oma Sara. Kamu tau berdamai itu lebih indah." Dia menyodorkan ponselnya ke arah Maya. " ... lagi pula nggak mungkin banget 'kan, ya? Ya kali para Oma bakalan milih yang jelek buat kamu. Gitu-gitu juga kamu termasuk cucunya. Yakin aja deh, dengan pilihan oma-oma!" Karina dengan gemas berusaha membujuk Maya, dia tahu bahwa Maya memiliki kepala batu yang hampir mendekati level setara seperti dirinya sendiri. Itu sebabnya, tidak ada pilihan selain memaksa Maya dengan sedikit penekanan serta ancaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date (Completed)
RomanceDi saat saudara kembar dan teman-temannya telah menikah, Maya bertahan dengan kesendiriannya. Bahkan ia sampai mengadopsi anak dan membesarkan sendiri. Bagi Maya itu tidak masalah. Namun, tidak dengan para tetua. Mereka tidak setuju dengan kesendi...