"Gavril, panggil 'aco'."
"ACOO!"
"... Itu, panggil 'ate'."
"ATE!"
Panggilan anak itu bagaikan agin lalu bagi objek yang dipanggil. Pemilik gerobak sempat menoleh, hanya sesaat sebelum melanjutkan langkahnya mendorong gerobak. Begitupula yang terjadi pada bakso yang sempat ia panggil sebelumnya.
Tidak menyerah ia mencoba memanggil lagi. "ATE!!"
Anak itu--Gavril-- menandang gerobak yang berlalu semakin jauh, lalu setelahnya menatap Dennis sedih. "Kok ga belenti, Aman?"
"Mungkin karena cara bicara Gavril nggak jelas. Belajar bicara lebih fasih lagi, ya." Bibir Dennis sedikit berkedut menahan tawa. Di dalam hati ia membanggakan alasan absurd yang ia lontarkan sebagai alasan. Dennis tahu dengan pasti, keponakannya ini benci kekalahan. Maka Gavril akan berlatih berbicara dengan lebih giat lagi.
"Woy, jangan ajarin anak gue yang nggak-nggak."
Dennis mencebik, menatap Karina seakan dia adalah spesies hama yang telah mengganggu kesenangannya. "Elah, ganggu kesenangan orang aja lo."
"Lo seneng, gue nggak." Karina memandang Dennis sinis. Ia menunjuk gerobak yang menjadi objek panggil beberapa saat lalu. "Mata lo rabun? Itu gerobak tertulis sate lo suruh manggil bakso. Tulisan bakso yang dipanggil sate. Ya, mana bakalan berhenti."
"Makanya ini yang membuat proses perkembangan anak menjadi lamban. Bukan mengajarkan cara bicara yang baik, malah lebih keseringan lo niruin gaya latah anak gue ngomong. Lo tau, ini masa di mana anak gue dalam proses meniru dari apa yang dia dengar dan lihat. Bahkan bila anak berkata latah kita jangan mengikutinya, kita benarkan agar proses berbicaranya semakin baik. Masapeniruan ini sangatlah rentan. Bisa-bisa anak asli latah..."
"...umh...?!"
Karina masih akan berbicara banyak ketika Dennis mulai memotong ucapannya degan tangan Gavril di arahkan ke mulutnya. Tangan kecilnya menutupi bibir Karina.
"Udah, balik aja lo sono," usir Dennis dengan dagu sebagai penunjuk lokasi. Bukan Dennis namanya jika tidak suka mengerjai orang.
Karina menatap horor, meskipun reaksi itu hanya diperlihatkan beberapa detik, bukan Dennis namanya jika hal itu terlewatkan baginya.
"Gue tau. Lo nggak mau ke sana, 'kan?"
Melihat Dennis mulai menggodanya membuat Karena mendelik sebal. "Udah, sini anak gue. Lo aja ke sana gantiin gue."
Tangan Dennis menghentikan tangan Karina yang hendak menjangkau Gavril untuk membawa anaknya dari gendongan Dennis ke gendongannya.
"Ogah. Lo nggak perlu nanya alasannya."
Seakan berdamai dengan situasi, mereka memilih untuk tetap berdiri di depan pagar. Lebih rela berdiri lama dibandingkan pergi ke sana. Diam-diam mereka menatap Mike yang duduk di sana, lebih tepatnya teras bersama dengan Maya.
'Semangat Mike'.
Begitulah kira-kira tafsiran dari pandangan mereka--Dennis dan Karina--yang dapat ditangkap oleh Mike.
Mata Mike berkedut melihat sepiring
Cookies di depannya. Tampilan luar memang bagus, khas makasan Maya yang biasa. Tapi ketika makanan tersebut dicicipi rasanya sangat...Tidak enak.
Sebagai kembaran, Mike merasa prihatin kepada siapa pun suami Maya di masa depan nanti. Dia hanya berharap orang itu merupakan orang yang bijaksana, menghargai masakan Maya, meski rasanya bisa dikatakan berbanding berbalik dengan tampilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date (Completed)
RomanceDi saat saudara kembar dan teman-temannya telah menikah, Maya bertahan dengan kesendiriannya. Bahkan ia sampai mengadopsi anak dan membesarkan sendiri. Bagi Maya itu tidak masalah. Namun, tidak dengan para tetua. Mereka tidak setuju dengan kesendi...