Bab 22. Liburan Para Nyamuk Bucin

1.5K 134 37
                                    

"Wahh pantai!" Teriak Tita mulai berlari menuju pantai.

"Pantai!!!" Tama mengikuti dengan bahagia.

Sorakan dua anak laki-laki itu nyaring, mereka tertawa melompat kegirangan. Ketika tiba di tepi pantai, ombak menerpa membawa air ke ujung kaki mereka. Mereka tertawa kegirangan merasakan sapuan air di kaki.

"Jangan lari jauh-jauh," sorak Maya mengingatkan mereka.

Ella yang mengikuti secara tidak langsung berperan sebagai pengasuh. Ia memutar bola mata melihat tingkah laku gila mereka. "Seperti nggak pernah ke pantai aja," gumannya kepanasan, mengambil sapu tangan menyeka keringat di dahinya.

Kaca mata hitam yang melorot diperbaiki, terlalu silau. Ella lebih memilih tidur cantik atau berjemur daripada berjalan di bawah terik mata hari untuk mengamati keselamatan bocah-bocah ini.

Ella awalnya ingin berjemur dengan Maya, tapi mengamati atmosfer di antara Maya-Angkasa serta Metta-Cristian, posisinya terhimpit di tengah pasangan. Ia tidak kuat hati. Tidak kuat menjadi nyamuk abadi seorang diri. Ini juga alasan Ella rela mengikuti dua bocah untuk bermain.

Tatapan Ella menatap dua pasang orang dewasa tidak bertanggung jawab. Mereka tengah tertawa riang. Kedua pasangan itu dengan mudah melemparkan dua bocah untuk ia jaga. Tidak bertanggung jawab. Mengapa membawa anak-anak jika ingin menikmati liburan tanpa bola lampu?

Ella mengakui nasibnya. Liburan semester kali ini tidaklah mudah. Kembali, Ella menyeka keringat di dahi. Belum apa-apa, ia sudah merasa pusing duluan.

"Lihat, anak-anak main dengan riang." Maya tertawa mengamati anak-anak yang tengah bermain riang.

Metta juga tersenyum, melihat kegembiraan anaknya. "Jarang aku melihat Tita begitu ceria."

"Bener 'kan ide gue, buat kita liburan di sini," kata Cristian bangga. Seminggu yang lalu, tanpa sengaja ia menemukan brosur diskon untuk liburan di penginapan yang baru dibuka. Waktunya juga bertepatan dengan liburan semester anak-anak.

Angkasa memutar mata melihat ekspresi bangga Cristian. "Itu aja bangga," komentar Angkasa tanpa memandang Cristian. Jemarinya membalik halaman buku yang tengah ia baca.

"Hah? Apa lo kata. Nantangin?"

"Mengemukakan pendapat."

Cristian memelotiti Angkasa. Seharusnya ia menagih harga tiga kali lipat untuk biaya penginapan, menguras isi kantong Angkasa si perusak suasana.

Maya mencoba mengalihkan pembicaraan agar meredakan suasana. "Kita entar bakar ikan, yuk. Angkasa ada bawa peralatannya."

"Boleh-boleh. Pasti asyik banget. Udah lama banget kita nggak kumpul kayak gini lagi." Metta mengenang masa mereka ber-empat liburan bersama dulu. Setiap liburan semester mereka akan traveling. Indahnya masa dahulu, untungnya mereka bisa kembali lagi seperti dulu.

"Aku inget banget, Sayang. Waktu itu aku menang mancing ikan lebih banyak dari Angkasa."

"Mimpi."

"Udah, akui kekalahan lo."

Angkasa memilih mengabaikan Cristian. Kembali membaca dengan tenang.

"Seinget gue, lo kalah mulu pas adu pancing dengan Angkasa," ucap Maya meringgis mengatakan kebenaran.

Metta tertawa mengenang tampang bodoh Cristian yang tidak pernah mengakui kekalahan dengan Angkasa. Ia menepuk-nepuk bahu Cristian menenangkan sembari mengingatkan, "Sayang, seingetku juga gitu. Kamu nggak pernah menang."

Angkasa menatap Cristian dengan provokasi.

"Gue nggak mengakui kekalahan. Kita lomba lagi!"

"Malas."

Blind Date (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang