Bab 6. Pratama

3.2K 297 4
                                    

Anak-anak berseragam putih-merah terlihat keluar berombongan. Maya melepas seatbelt, mematikan mesin, lalu segera melesat keluar dari mobil. Senyumnya merekah, menanti sosok Ella ada di antara gerombolan anak-anak itu.

"MAMAA!!"

Maya segera merentangkan kedua tangannya guna membawa Ella ke dalam dekapan. "Bagaimana sekolah hari ini sayang?"

Ella mengeratkan pelukannya, sedikit mendongakkan kepala melihat sosok Maya. "Seperti biasa, menyenangkan, Ma!"

Maya tersenyum, ia memeluk Ella seraya mengelus-elus rambut anaknya itu dengan sayang. Meski Ella bukanlah darah dangingnya, ia sangat menyayangi Ella. Meski Maya tidak begitu tahu pasti mengapa Ella ada di panti asuhan, serta tentang trauma yang sempat menimpa Ella.

Kenangan Maya kembali teringat akan kunjungannya ke panti asuhan milik kerabat ibu tirinya. Saat itu, ia melihat seorang anak tengah mengasingkan diri dari anak-anak lain. Melihat sosok anak itu membuat hati Maya terasa teriris, anak itu seakan raganya telah direnggut paksa, tidak ada lagi sorot kehidupan di dalam pancaran mata biru safir-nya.

Lamunan Maya terhenti ketika mata biru safir-nya bertemu dengan mata hazel milik seorang anak laki-laki. Anak itu ternyata sedari tadi berdiri tepat di belakang tubuh Ella. Maya melepaskan dekapannya, menatap anak laki-laki itu yang sedari tadi menatapnya dengan sorot malu-malu.

"Itu siapa, Ella?" bisik Maya, takut jika anak laki-laki itu merasa tidak enak mengganggu kegiatannya dengan Ella. Seakan tersadar akan sesuatu, Ella melepaskan pelukannya. Dia menepuk keningnya lalu berjalan mendekati anak laki-laki itu.

"Perkenalkan, Ma. Ini adalah anak yang Ella ceritakan waktu itu."

"Oh, ya?" Maya tidak dapat menyembunyikan keterkagetannya. Ia sedikit mengambil langkah mendekati anak itu, berjongkok menatap mata anak itu tepat di manik matanya. Maya mengelus pipi tembem anak itu dengan sayang. Sungguh sangat disayang jika anak ini mengalami masa-masa sulit seperti dirinya dahulu. Rasanya sangat berat jika saat kecil kekurangan kasih sayang, meski pandai menutupi tapi percayalah, ada kalanya kita butuh sandaran. Dan, seketika hati Maya merasakan sebuah rasa sayang kepada anak laki-laki di hadapannya ini.

"Siapa namamu sayang?"

Anak itu terlihat kaget saat Maya menyentuhnya, dia menatap Maya begitu lama. Rasanya sangat nyaman begitu tangan seorang wanita yang dia ketahui adalah Mama dari seorang kakak kelas bernama Ella. Ella telah dia anggap sebagai sosok kakak meski mereka baru kenal beberapa hari. Ella terlihat membisikkan sesuatu kepada anak itu sehingga kesadarannya kembali.

"Eh ... um ... nama ... Pratama, Tante." Dia tersenyum hingga menampakkan deretan giginya. "Biasa dipanggil Tama."

Maya mencubit pipi Tama gemas. "Tama pulangnya sama siapa?"

"Biasanya Papa yang jemput ..." Tama tampak berpikir, meletakkan jari telunjuk tepat di dagunya, sorot matanya menatap ke atas, sebelum tatapan mata itu kembali menatap Maya lalu kemudian melanjutkan ucapannya, "Tapi, ada juga Eyang yang jemput."

Maya mengangguk-angguk mengerti, tangannya masih setia mengelus-elus pipi Tama.

"Ah, itu Eyang! Eyang, ayo sini!"

Tama terlihat melambai-lambaikan tangannya, tatapannya lurus ke depan. Dapat Maya simpulkan bahwa Eyang Tama berada tepat beberapa langkah di belakang tubuhnya. Refleks Maya memutar badan, ia melihat sosok wanita paruh baya dengan dandanan sosialita seperti para The Sassy Grandma.

Wanita paruh baya itu sebenarnya sedari tadi telah menangkap keberadaan sang cicit. Tapi, langkahnya dia urungkan ketika melihat seorang wanita mendekati Tama, wanita itu tampak bercengkrama dengan cicitnya. Juga sorot kasih sayang, serta kehangatan tidak luput dari pandangan wanita paruh baya tersebut ketika melihat interaksi mereka. Dia dapat menduga bahwa wanita itu adalah ibu dari Ella. Anak perempuan sekaligus kakak kelas yang belakangan ini sering dia temui, tidak lupa sang cucu selalu bercerita tentang sosok Ella.

Blind Date (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang