The Call - Regina Spektor
•~•
Hari yang indah untuk berkumpul. Empat sahabat bertemu. Berkumpul di rumah salah satunya.
Tawa canda menghiasi rumah itu. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Secepat kau merasa kebahagian lenyap begitu saja. Hilang diterpa angin.
Bayang-bayang wajah mereka terasa samar dalam penglihatanku sekarang. Entah wajah-wajah dan tawa dan siluet mereka akan memudar dimakan waktu. Aku tidak tahu. Dan aku tak tahu apakah rindu ini juga akan ikut pudar karena lama tak bertemu.
Mungkin sesekali kita melepas rindu dengan chat di grup atau telpon grup atau vidcall grup.
Senja sepertinya mulai menyapa kami. Senja yang indah dengan menampilkan pemandangan alam yang begitu menakjubkan. Warna oranye yang bercampur ungu juga biru gelap. Tapi bukannya merasa takjub dengan senja indah kami. Aku merasa kegelapan di penghujung langit itu lebih terasa. Rasa takut akan tidak menyapa Pagi kami itu membuatku sesak.
Dinginnya malam tak terasa menyambutku. Dingin yang menyelimuti kulitku, lalu semakin dalam menusuk seluruh tubuhku, terutama hati yang terasa mulai membeku.
Pemandangan langit kami yang jingga pudar dimakan waktu. Dan aku harap hubungan kami tidak ikut pudar dan makin lama menjadi lenyap. Lenyap dimakan waktu.
Bintang-bintang bersinar cukup terang di langit kami. Kepada Senja yang mungkin akan merindukan Pagi. Aku sadar, dan tahu tentang bintang yang tidak pernah tidur, tidak pernah redup, dan sinarnya tidak akan mati tanpa seijin Tuhan. Dan bulan purnama bercahaya terang karena pantulan sinar matahari.
Kembali pada malam kami. Kami. Bukan tentang aku dan seorang lelaki yang akan berpisah, tapi tentang aku, dan mereka. Seperti yang kita tahu, dan entah berapakali aku mendengar kalimat itu sampai aku merasa muak. Setiap Pertemuan Pasti Akan Ada Perpisahan. Dan kalimat yang ku dengar dari seseorang, Bertemu Itu Untuk Berpisah.
Ingin aku berteriak dan menyangkal semua kalimat itu.
Namun tidak mungkin.
Dinginnya malam masih membungkus kami dari hangatnya mentari. Sayup-sayup suara burung hantu tak lama terdengar dan jangkrik. Menjadi sebuah melodi menyebalkan di telinga kami. Terutama telingaku.
Seperti sebuah kaset yang entah berapakali ku putar. Dan ini kesekian kalinya aku memutar ulang kaset itu, yang mempunyai akhir yang tak akan pernah berubah. Semua tetap sama.
Aku jadi teringat tentang hari ulang tahunku ke-14. Sungguh, aku sangat bahagia. Mereka orang pertama yang memberikan kejutan di hari ulang tahunku. Karena sebelumnya tidak ada yang memberi kejutan. Sebuah momen yang tidak bisa ku lupakan.
Atau hari ulang tahunku ke-15. Saat itu, lima hari sudah dari tanggal aku dilahirkan. Hujan turun dengan deras. Sayup-sayup dari dalam rumah aku mendengar, suara mereka memanggil namaku. Bergegas aku membuka pintu. Mematung sesaat. Lagu selamat ulang tahun menggema di telingaku. Sebuah kue berukuran sedang dipegang salah satu di antara mereka, dengan lilin angka 15.
Siapa yang susah-susah memberi kejutan di saat hujan? Repot-repot menyusun rencana, padahal aku sendiri tidak pernah memberikan hal sespesial itu pada mereka. Indah. Sakit rasanya jika kemarin adalah hari terakhir mereka memberikan kejutan. Tak ada kata yang sempurna untuk menggambarkan bagaimana mereka.
Banyak hal yang terjadi pada kami. Tawa, canda, susah, senang, semua dilalui bersama.
Senja merindukan Paginya.
Aku merindukan Mereka. Di sini. Menunggu waktu akan mempertemukan kami. Yang entah dalam suasana canggung atau menjadi momen bersejarah dengan air mata bahagia mengalir. Berpelukan erat setelah sekian lama. Semua itu hanya dalam Bayangku. Anganku.
Waktu berlalu begitu cepat tanpa kita sadari. Satu hari berlalu. Satu bulan berlalu. Satu tahun, sampai akhirnya bertahun-tahun. Masa sekolah telah usai. Kuliah di perguruan tinggi yang kita impikan. Semua mulai sibuk dengan masa depan. Dengan berbagai cita-cita yang dimiliki untuk diwujudkan.
Mungkin saat itu rasa ingin bertemu hanya sejengkal, atau mungkin hanya setitik tinta hitam di atas kertas putih. Sangat kecil, tapi menjadi perhatian kita. Membuat kita tertuju pada satu titik itu.
Aku kembali melihat malam kami. Begitu panjang. Semesta begitu luas tanpa ujung. Tanpa sudut. Mungkin seperti lingkaran yang tak punya titik sudut. Dunia ini begitu kejam dan berbahaya. Di mana Angan bisa Terkabul dalam Sekejap. Di mana Harapan bisa Pupus dalam Sekejap.
Malam ini begitu panjang. Kegelapan yang menyelimutiku. Aku dan mereka. Kami. Sangat panjang sampai aku lupa. Bahwa Pagi belum menunjukkan dirinya.
Namun aku yakin.
Tuhan tahu bagaimana cara mempertemukan kami kembali. Seperti Tuhan mempertemukan kami waktu itu.
Dua tahun bukanlah waktu yang lama. Pertemuan yang sangat singkat. Namun berbekas.
Hari yang panjang saat itu, seakan hari itu bukan senja kami--hari perpisahan kami. Seakan hari itu bukan malam kami--hari terakhir kami bertemu. Semua mengalir begitu saja seperti perpisahan biasanya. Seakan pagi masih dapat menjemput kami--esok hari berjumpa seperti biasanya.
Tak ada kata perpisahan. Tak ada kata selamat tinggal. Tak ada kata sampai jumpa. Tak ada pelukan terakhir. Tak ada tangisan berpisah. Hanya kata-kata ucapan seperti biasanya.
Dan hanya ada beberapa kata terganti. Kata rindu menjadi sesuatu yang hangat terdengar.
Aku memperhatikan satu per satu wajah itu. Mencoba merekam lebih. Mencoba menambah memori lama. Yang mungkin nanti, memori-memori itu akan terpecah. Dan bercampur dengan memori baru. Dengan orang asing yang tak terasa menjadi orang terdekat.
Sesak yang mungkin akan pudar menjadi bahagia. Dengan orang yang berbeda.
Kenangan-kenangan itu. Memori-memori itu. Yang menancap kuat di ingatanku. Saat mengingatnya sedikit saja. Pikiranku akan berjalan mundur. Mengikuti alur begitu saja. Sakit. Sesak.
Saat Senja merindukan Pagi. Siapa yang tahu. Bagaimana mulut menjadi bisu. Tak mampu berucap. Semua terasa kelu.
Senja. Senja. Senja. Padukan warna di langit jingga. Begitu menawan.
Senja. Senja. Senja. Buat kami lupa. Dan ingatkan kami. Ini bukan sebuah perpisahan. Melainkan sebuah ujian untuk persahabatan di antara kami.
Kepada semesta aku ingin mengadu. Kepada Tuhan aku memohon. Ijinkan kami menggapai Pagi kami kembali. Dan meninggalkan jejak Senja dengan indah. Indah seperti senja hari, perpisahan siang menuju malam.
Senin, 10 juli 2017
Tulisan ini kutujukan,
untuk kalian.
Para sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri.
Rainyshaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Rindu Pagi
Poetry[Completed] Kepada Semesta. Ingin kumengadu. Bahwa Senjaku telah merindukan Paginya. Dan penaku ingin terus menari dalam aksara agar hati tak lagi sesak. Copyright© 2017, by Rainyshaa