Bu

273 5 2
                                    

Bu,
Bolehkah aku bercerita?
Pagi tadi, kabut menyapaku dalam sunyi,
Membisiki jika mentari akan tiba dan ia pergi.
Lalu kucoba sentuh hempas sang kabut,
Tapi ia tak bisa ku sentuh. Katanya, ia cuma sekelebat laksa yang kian lenyap.

Bu,
Saat mentari tiba, berkata ia padaku,
Sebentar lagi ia cuma menyisakan sekeping cahya,
Berpendar keemasan diantara langit kelabu.
Lalu kulihat ia lenyap bersama separuh duka.
Menyapaku tanpa bicara.

Bu,
Senja menyapaku.
Berkata ia cuma penengah antara mentari dan malam...
Aku menyukainya...
Temaramnya benar-benar membius jiwa...
Tapi, tak lama ia berkata
Sebentar lagi tiba waktunya ia digenggam malam...
Pergi lagi.
Bersama datangnya malam.

Bu,
Si kelabu itu menyapaku sebagai malam.
Berbisik diantara kelam juga sunyi.
Katanya aku boleh mengeluh padanya.
Tentang kabut yang sirna saat mentari tiba,
Saat mentari tenggelam menyisakan senja,
Dan saat ia tiba melenyapkan senja.
Aku cuma menatapnya diam.
Dalam kelebat sunyi, malam tersenyum padaku.
Berbisik antara kelam dan sunyi.

Lalu, datang fajar yang membuatnya tiada...
Malam hilang bersama temaram subuh tiba...
Tapi, Bu..
Fajar tak menyapaku sedikitpun.
Berbinar pada temaram subuh.
Mengabaikan aku yang menatapnya diam.

Sejenak angin menelisik datang.
Menyapaku tanpa berbisik.
Tapi ia berhenti di sampingku.
Bu, aku juga tak bisa melihat angin.
Tapi ia tetap menyapaku dengan hembusan dinginnya.
"Fajar sebentar lagi usai. Apa kau membencinya?"
Tanya angin sebelum berlalu pergi.

Bu, apa aku membenci fajar yang diam saat mentari menjadikannya tiada?

Bu, kenapa dua temaram lenyap secepat menutup mata?
Malam yang buat senja tiada,
Lalu fajar yang lenyap saat mentari kembali.
Kenapa aku harus menyukai dua temaram yang pergi secepat ini, Bu?

Bu,
Bolehkah ku ambil saja senja dan fajar buat diriku sendiri, sebelum malam membuat senja tiada,
Dan sebelum mentari membuat fajar lenyap?

Salam Hangat
Ken Auliya
18072017

Balada Syair SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang