Pemuda Daun Jati

192 2 0
                                    

Juni. Hujan enggan menepi buat sekedar menyapa bumi. Kemarau meraja di sini. Menerpa kan angin kering lagi panas yang rasanya menampar wajah.
Ditengah terpaan kering angin bulan Juni, duduk aku di kedai kopi.
Menunggu mega pergi hingga kelam menjelma sunyi.

Rona senja memanjakan mata meski sisa sengatan mentari siang tadi masih merebak.
Di ujung jalan ini, dihadapan kedai kopi yang ku datangi,
Berdiri kokoh satu pohon jati.
Daun-daunnya mulai berguguran, meninggalkan ia dalam sepi.
Pohon jati itu bagai sekarat kehilangan nyawa kala satu demi satu dedaunan kuningnya mulai jatuh di hempaskan angin.
Bilur senja menerpa, ciptakan siluet pohon jati yang hampir meregang nyawa.
Berdiri aku dari tepi. Berjalan keluar menyebrangi jalan.
Rona pucat senja dan siluet lumpuhnya pohon jati seolah membius aku buat pergi menghampirinya. Mendekat hingga tiba di hadapannya.

Disini aku berdiri. Menatap pohon jati yang daunnya tinggal beberapa. Kuning dan rapuh hingga jika sekali lagi angin menerpa mungkin berguguran lagi. Jatuh ke tanah. Meninggalkan dahan jati.
Kemilau pucat senja seolah menyapa aku yang datang menghampiri pohon jati.
Seakan menyenandungkan nyanyian temaram penutup sang surya.
Aku masih berdiri terpaku. Dihadapan pohon jati yang nampak sekarat juga dibawah temaramnya kemilau senja.

Dari balik pohon jati, ku lihat ia berdiri di sana.
Seorang pemuda dengan buku sketsa juga pensil di tangan.
Matanya menatap penuh selidik pohon jati yang seolah hampir mati.
Perlahan tangannya menggerakkan pensil. Bergerak berirama seolah ia tengah mengajak pensil itu menari. Wajahnya terpias temaram senja.
Mengelok saat pucatnya senja memantulkan siluet tubuhnya.
Aku masih diam terpaku.
Pada pohon jati, daunnya yang berguguran, juga...
Si pemuda dibawah pohon jati.

Ini sudah petang. Angin kembali berhembus kencang. Dingin merayap hingga belulang.
Satu daun jati kembali jatuh. Menerpa aku yang berdiri disana.
Ku ambil ia. Daun lebar jati yang sudah menguning. Jatuh meninggalkan dahannya sendirian.
Ada langkah kaki yang mendekati. Si pemuda dengan buku sketsa itu mensejajarkan diri denganku.
Matanya menatap daun jati di tanganku penuh minat.
Sorot mata itu bertaburkan euforia yang tiada berbatas.

Perlahan ia mendongakkan wajah. Menatap tepat di kedua bola mataku sebelum di tatapnya lagi daun jati yang ku pegang.
Dia berkata:

"Boleh ku pinta daun yang kau pegang?"

Mataku menatap heran. Berbalik menatap daun jati di tangan. Ku tatap sekilas matanya dengan sorot mata yang coba buat meyakinkan. Dan dia mengangguk kecil. Tersenyum meyakinkan.

Tanpa kata ku berikan saja daun jati yang baru saja ku ambil. Dia menerimanya dengan binar di mata. Tersenyum lebar seolah mendapatkan hadiah paling istimewa.
"Kau tau? Di negara empat musim, mereka mempercayai jika daun maple yang jatuh pertama akan membawa keberuntungan" dia berhenti. Menjeda ucapannya. Tersenyum menatap daun lebar jati yang lebar. "Ku anggap saja daun jati yang gugur bulan juni seperti maple pertama yang jatuh. Memberi keberuntungan" Lanjutnya.

Aku hanya diam. Sama sekali tidak mengerti apa yang sedang coba ia katakan. Hanya anggukan kepala yang ku berikan sebagai respon. Hari sudah petang. Sudah saatnya aku pulang.

Aku bangkit berdiri. Mengangguk sekilas padanya sebagai ucapan perpisahan.

"Terimakasih! Kau memberiku keberuntungan!"

Suara pemuda itu terdengar. Ia berseru saat aku sudah pada langkah ke limaku. Aku menoleh. Mengangguk samar sebelum akhirnya kembali berbalik. Berjalan pulang.

Esoknya dia kembali lagi. Si pemuda daun jati-begitulah aku menjulukinya-berdiri lagi di hadapan pohon jati di sebrang kedai kopi.

Jemarinya seolah menari saat menggerakkan pensil ditangan. Mencoreti buku sketsa yang selalu ia bawa.

Hari esoknya dan esoknya lagi aku kembali bertemu dengan si pemuda daun jati. Dia masih tersenyum hangat menyapaku. Masih membisikkan kata terimakasih atas daun jati yang ku berikan.

Hari ini aku kembali berhenti di kedai kopi. Duduk di kursi samping jendela yang biasa ku duduki. Hari ini hujan menyapa bumi. Seolah memberi oase pada tanah yang mulai kerotan.
Kedai kopi ini mulai dipenuhi pengunjung. Berteduh dari derasnya hujan yang berjatuhan.
Mataku kembali terpaku menatap pohon jati yang sudah tidak lagi berdaun. Kering tanpa sehelai daun yang tersisa.
Ia seolah benar-benar menunggu ajalnya saja.

"Permisi"

Sebuah suara menginterupsi. Aku menoleh sekilas. Mengerutkan kening saat sosok itu tersenyum cemerlang. Dia nampak canggung, namun senyum cemerlangnya mampu menutupi.

"Boleh aku duduk di sini? Tidak ada lagi kursi yang tersisa"

Katanya lagi. Tanpa sadar mataku berputar menatap ke segala penjuru kedai. Ramai sekali. Tidak ada satupun tempat yang tersisa. Hanya tinggal kursi yang ada di dekatku.

Mengangguk pasrah. Ku biarkan dia mendudyki satu kursi dihadapanku.

"Terimakasih" Katanya tulus. Tersenyum cemerlang. Aku mengangguk kecil. Hanya itu yang ku bisa.

Aku tidak pandai bicara dengan orang asing. Lagipula... kami berdua memang hanya orang asing kan?

"Kamu memberi keberuntungan dua kali buatku. Terimakasih untuk daun jatinya... juga... tempat duduk ini"

Si pemuda daun jati itu kembali bicara. Tersenyum seelok langit senja.

Salam Hangat
Ken Auliya

05022018

Balada Syair SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang