Aku berjalan seumpama langkah yang tak mau berhenti.
Menapaki setiap jengkal bumi yang ku pijaki.
Di sana, di persimpangan jalan itu, tanpa sengaja ku temui dia.
Dia yang berjalan dengan mata yang terus menatap lurus ke depan, tanpa terusik oleh di sekitarnya.
Langkah kakinya sepasti tatapan matanya.
Tak ada ragu. Dia sungguh berjalan dengan dirinya sendiri. Seolah langkah kaki adalah dunianya dan pandangan mata adalah langitnya.
Dia sama sekali tidak menoleh. Pun tidak peduli saat seseorang menabrak pundaknya cukup keras. Dia luput oleh dunianya sendiri.Hari itu, pertama kalinya aku melewati persimpangan itu. Untuk pertama kalinya juga bertemu dengannya-meski lewat berpapasan saja.
Tidak ada yang terjadi diantara kami berdua. Kami berjalan seumpama biasanya. Tidak pula terjadi adegan dramatisir seperti yang sering ku baca di novel roman picisan. Tidak ada tubrukkan yang akhirnya berujung pada perkenalan. Tidak ada.
Kami berdua hanya melangkahkan kaki saja. Berjalan sebagaimana mestinya.Hari setelahnya aku kembali melewati lagi persimpangan itu. Kembali berpapasan dengannya tanpa sengaja. Dia sama seperti sebelumnya. Berjalan dengan langkah pasti tanpa sedikitpun keraguan. Mata kelam itu menatap lurus kedepan. Lagi-lagi tidak memperdulikan apapun. Hanya menatap lurus ke depan seolah ia akan merugi jika ia menolehkan tatapan matanya.
Tapi, ada sesuatu yang kutemukan darinya. Sesuatu yang begitu saja membuatku terpaku tanpa berkutik.
Tatapan matanya.Kedua bola mata itu menatap dengan tatapan tanpa ragu. Menghapus keraguan yang hendak menyelinap, juga... sesal yang tertinggal di belakang. Matanya hanya fokus pada satu arah.
Tatapan matanya menyeretku masuk.
Seperti telaga yang menawarkan kedamaian.
Seumpama danau yang mengajakku berenang. Matanya tidak berpendar tajam. Tapi seolah punya daya magis yang membuatku hanyut oleh tatapan mata yang sama sekali tidak peduli pada sekitarnya itu.Lalu, tanpa ku sadari hari setelahnya dan setelahnya lagi, aku terus berjalan melewati persimpangan itu. Kembali bertemu dengannya meski hanya sebatas papasan saja. Sudah sesering itu kami berpapasana. Tapi tak sedikitpun dia menunjukkan bahwa dia mengenalku atau setidaknya pernah melihatku. Dia terlalu fokus ke depan tanpa perduli apa yang tidak ia butuhkan. Begitulah yang ku tangkap darinya.
Raut wajahnya seumpama rona senja sebelum tenggelam digantikan malam. Terlalu misterius buat di jabarkan.
Tanpa ku duga, kami berjalan bersisian dengan dia yang bahkan sepertinya tidak sadar jika ada seseorang yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Aahh dia memang selalu seperti itu. Walau bagaimana pun, kami tetap saja dua orang asing yang bertemu di persimpangan lewat papasan saja. Tidak lebih. Bahkan aku ragu apa dia pernah menyadari jika aku pernah-bahkan sering sekali-berpapasan dengannya. Entahlah.
Ada yang tidak biasa hari itu. Sejenak dia menghentikan langkah kakinya. Berhenti sejenak dihadapan sebuah pohon jati tua.
Matanya mengerjap sekali. Untuk pertama kalinya, ku lihat dia tertarik memalingkan pandangan matanya dari titik fokusnya.
Dia diam beberapa saat. Mengamati kala daun-daun jati itu mulai bertunas. Ini sudah musim penghujan. Tidak ada lagi daun jati yang berguguran.
Perlahan ia memejamkan mata. Hanya sekilas. Tapi ada sebaris senyum yang teramat tipis menghiasi wajah penuh misterinya. Mata teduh itu semakin menarikku jatuh. Tenggelam lebih dalam.Aku tetap tidak bicara. Kembali berjalan mendahuluinya yang masih di sana. Terpaku menatap daun jati yang baru tumbuh.
Aku tidak tau pasti ada apa dengannya. Dia seumpama keramik yang utuh tanpa tersentuh.
Matanya selalu berfokus ke depan. Langkah kakinya selalu terlihat pasti tanpa sedikitpun keraguan. Tapi, sejenak lalu, dia tak ubahnya seperti seorang gadis yang bahagia mendapatkan kado kecil.Hari ini aku terlambat dan itu berarti tidak juga ku temui dia di persimpangan jalan itu. Aku hanya bisa membuang nafas berat. Sepertinya mendapatinya berjalan dengan langkah pasti sudah seperti menjadi bagian dari rutinitasku. Menjelma pada kecilnya dunia yang ku miliki. Tapi hari ini aku kembali melangkahkan kaki. Jika esok dan esoknya lagi pun kami tidak bertemu lagi, bukankah itu bukan sebuah masalah?
Kami berdua, maksudku aku dan dia hanya sebatas orang asing saja. Sebatas orang asing yang bertemu di persimpangan saat kaki melangkah. Tidak pernah lebih meski nyatanya aku tanpa sadar selalu terbius oleh tatapan mata lurusnya. Begitulah seharusnya.
Hari ini seorang teman menarik paksa aku buat mengikutinya. Tidak ada kelas, itu berarti kami bebas.
Kami berjalan menuju bangunan lain dari tempat kami menimba ilmu atau begitulah aku menyebutnya. Berhenti di selasar sambil menunggu teman lainnya.
Saat itulah mataku kembali terpaku. Kedua kakiku rasanya dipaku ke dasar bumi. Tidak bisa di gerakkan sedikitpun.Dia disana. Berbusana seperti biasa yang ia gunakan. Berjalan dengan langkah yang sama. Menatap dengan tatapan mata yang juga sama percis seperti yang selalu tanpa sadar ku amati. Dia berjalan cepat, seumpama mengejar atau dikejar sesuatu. Tapi langkah kakinya tetap sepasti saat aku berpapasan dengannya. Sama seperti dua bola mata yang tidak kehilangan sorot teduhnya. Dia melewatiku begitu saja.
Aku menahan nafas tanpa sadar. Bahkan aku tau jika dia memang sama sekali tidak mengenaliku meski kami hanya sebatas orang asing saja.
Jika ini sebuah film romansa atau satu adegan dalam novel, mungkin saat ini juga akan ku hentikan langkah kakinya. Menahannya agar tetap tinggal. Mengatakan jika kami sering bertemu saat di persimpangan jalan. Mengajaknya berkenalan. Atau seperti itulah seperti yang ku tonton dan ku baca lewat cerita romansa.Tapi, ini bukan kisah romansa. Ini hanya sebuah kisah tentang dua orang asing. Dan aku tidak punya cukup keberanian buat menghentikan langkah kakinya. Ku tekankan pada diriku jika kami hanya sebatas orang asing saja. Bahkan tanpa mengenal satu sama lain. Kami berdua hanya sebatas orang asing yang tanpa sengaja sering dipertemukan waktu di persimpangan jalan itu.
Ini sudah sore. Mentari sudah tenggelam dan hanya menyisakan senja yang tak lama lagi akan di telan malam. Setelah pertemuan tak sengaja siang tadi, aku tidak berharap lebih lagi. Ku sadarkan diri jika kami hanya orang asing yang sama sekali tidak saling mengenal. Terpaku pada dunianya masing-masing.
Tanpa sadar, aku kembali melangkahkan kaki melewati persimpangan itu. Persimpangan yang setiap pagi ku lewati dan menemuimu di sana.Kali ini rasanya tidak seperti sebelumnya. Terasa begitu hampa saat ku sadarkan diri betapa asingnya aku dan dia.
Sebuah motor melaju kencang, tanpa sadar oleng dan mengenai kaki kananku. Aku terlalu lama buat menyadari jika kakiku terluka dan si pengendara motor bersama motornya sudah pergi entah kemana.
Aku hanya meringis menahan nyeri pada kaki kananku. Berjalan terpincang menuju tepi jalan ini. Beberapa tetes darah mulai mengotori warna celanaku. Aku diam beberapa saat. Aah. Apa semesta sedang mengajakku bercanda hari ini? Rasanya banyak sekali yang terjadi pada hari ini. Membuatku ingin menertawakan diri sendiri.
Aku terpaku diam di pinggir jalan. Persimpangan ini sepi. Mungkin sudah hampir tidak ada yang melewati jalan ini lagi. Dan aku harus berjuang nanti buat menyeret kakiku berjalan pulang.Ada langkah kaki yang terdengar pelan. Ketukannya begitu pasti sekali. Rasanya aku sedang berimajinasi saat tanpa sengaja mataku bersibobrok dengan mata kelamnya. Dia diam beberapa saat. Aku menelan ludah susah payah. Dia kembali melangkahkan kaki. Kembali berjalan ke depan tanpa menoleh sedikitpun. Aku tersenyum miris.
Apa yang ku harapkan sebenarnya?
Ah. Hari ini rupanya waktu dan semesta berkonspirasi menciptakan lelucon bagiku.
Menit berjalan lambat. Atau begitulah yang aku rasakan. Tidak ada yang terjadi, tapi seumpama mimpi mendatangiku, dia kembali lagi. Mensejajarkan tubuhnya hingga sejajar denganku. Mata kelamnya berpendar awas saat menatap luka di kakiku.Tanpa suara juga tanpa bicara dia mengeluarkan peralatan kesehatan dari plastik di jinjingannya. Dia mengobati lukaku tanpa suara.
Kami membisu. Hanya angin sore yang berhembus menemani.Dalam diamnya tanpa ku sadari, mata itu kembali membuatku terpaku. Terperosok semakin dalam.
Dia yang tidak pernah menoleh saat berjalan,
Dia yang tidak pernah berbalik saat melangkah, menolongku tanpa suara. Dia tidak langsung berbalik. Dia berjalan lurus ke depan dan kembali lagi buat sekedar menolongku.Dan ingatkan aku buat sekedar mengucapkan terimakasih, juga... memintanya memberitahukan namanya.
Tolong ingatkan aku buat berterimakasih pada lelucon semesta hari ini.
Salam Hangat
Ken Auliya
03022018
KAMU SEDANG MEMBACA
Balada Syair Sunyi
PoesieKumpulan puisi amatiran yang absurd.. " Aku mencintaimu tanpa syarat, Seperti rumput yang terus tumbuh, tanpa sekalipun meminta syarat buat berhenti diinjak." _Tanpa Syarat_ " Jika lupa menjadikanku mempelainya, Semoga tak ia kembalikan ingat yang...