Celoteh Senja

375 5 1
                                    

Kuhirup lagi udara senja ini.
Menghantarkan ia pada rongga nafas yang kupunya.
Ah..
Lagi-lagi aku berdiri disini.
Sendiri bersama senja.
Senja masih saja diam menatapku.
Sama diamnya dengan aku yang menatap lembayungnya.
Setidaknya, sebelum malam meniadakan senja beserta lembayungnya,
Kunikmati waktuku bersama senja dalam kebisuan yang menghanyutkan.

Senja mulai berbicara.
"Tidakkah kau lelah bersembunyi di balik temaramku? Sebegitu inginkah kau hanyut dalam diam bersamaku, hilang sejenak dari rindu yang kian menggerogoti?"
Katanya pelan saat aku mulai mendongak.
Aku tertawa kering.
Apa seperti itu?
Diam. Aku bahkan tak bisa menjawab pertanyaan senja.
Celoteh yang baru saja dikatakannya,
Apa mungkin tak bisa kupungkiri?
Melarikan diri dari rindu yang kian menggerogoti?
Hanyut dalam diam bersama temaram senja, sebelum akhirnya ia lenyap oleh malam.

Lagi. Senja menatapku lekat. Mencari kedua bola mata yang mati-matian kusembunyikan binarnya.
"Sebentar lagi hujan. Apa kau tetap akan disini?"
Lagi. Ia bertanya.
Aku mendongak.
Lembayung semakin buram. Awan kelabu bergerak beriringan. Sebentar lagi hujan.
"Tak apa. Aku tetap akan disini sebelum kau tiada"
Ucapku akhirnya.
Senja menghembuskan nafas kasar. Menatapku dengan tatapan yang tak bisa di baca.

"Hey, apa rindu selalu seperti itu? Membuatmu bungkam dan hanya diam dibalik lembayungku, bersembunyi dari dunia yang seolah menertawai? Tidak maukah  kau tiadakan rindu itu meski hanya sejenak?"

Aku tertawa lirih. Menatapnya lekat.
Ini kali pertama senja membuka suara setelah sekian lama aku berceloteh padanya lewat tatapan mata juga luka yang tak sengaja terkata.
Senja mulai muak melihat tatapan mataku yang menerawang menatap lembayungnya.
Ia mulai bosan mendengar syair rindu juga luka yang tak sengaja ku senandungkan.
Ah...
Andai saja senja tau betapa inginnya kulenyapkan rindu ini.
Melenyapkannya bukan untuk sedetik saja. Tapi bahkan meniadakannya hingga tiada.
"Pernah kau  mengintip temaram fajar meski cuma sedetik?"
Tanyaku padanya.

Senja menghembuskan nafas kasar. Tersenyum mencemooh pertanyaanku.
"Itu hal terbodoh yang pernah kudengar. Bagaimana mungkin aku bisa menatap temaram fajar saat bahkan kami berada di waktu yang berbeda? Ia datang sebelum mentari sampai, dan aku hadir sebelum malam meniadakan sisa sinar mentari"
Jawabnya lugas. Aku tersenyum.

Seperti senja dan subuh.
Aku dan rindu tak ubahnya dua temaram bumi.
"Rindu seperti temaram fajar buatmu. Meski tercipta karena mentari, ia tak akan pernah kau temui.
Rindu bagiku fajar.
Dan aku senja.
Sebanyak apapun aku berharap meniadakan rindu, semustahil senja buat menemui fajar, meski cuma sedetik"

Hujan mulai sampai.
Setetes demi setetes airnya jatuh menerpa. Aku masih diam disana.
Menatap senja yang kian buram.

"Bangunlah. Aku bosan mendengar celoteh syair rindumu itu!"

Aku tersenyum.
Senja sudah kian memudar bersama air yang terus berjatuhan.
Aku ingin seperti senja.
Tetap datang meski malam menjadikannya tiada.

Celoteh senja hari ini,
Kusimpan ia dibalik bilik kalbu.
Bersemayam bersama titik rindu yang menepi.

Salam Hangat
Ken Auliya
12072017

Balada Syair SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang