Sebuah Kisah Di Sore Hari

1.2K 4 0
                                    

Mentari sudah pergi. Meninggalkan kerlapnya  bumi hingga hanya menyisakan temaram saja.
Sore ini aku berdiam diri di kedai kopi menikmati segelas kopi panas dengan asap yang masih mengepul.
Cairan hitam pekat itu mengaliri tenggorokanku. Menyengatkan rasa pahit di lidah. Menyengatkan rasa yang tak kuasa ku tolak karenanya.
Segelas kopi masih mengepul di hadapanku. Menemani aku yang menatap pekatnya lembayung senja.

Pucat. Tidak merekah seolah mentari tersenyum hangat.
Sore ini, kala mentari hendak kembali ke peraduannya, saat aku terdiam dengan segelas kopi panas, bercerita angin padaku tentang sebuah kisah yang tertulis kala senja menyapa cakrawala, sebelum malam membungkam habis kemilau pucatnya.

Ku dengarkan kata yang diungkap angin sembari ia berhembus pelan. Menyenandungkan bait demi baitnya hingga tercipta sebuah kisah.
Aku diam mendengarkan.
Setiap kata yang terlukis dari hembusan angin. Menyergap sunyi dan pekatnya warna kopi dihadapanku.

Angin membisikiku sebuah kisah kala senja tiba. Dua anak manusia yang terlempar rindu hanyut kala senja tiba.
Dua anak manusia yang membungkam paksa kata biar tidak memberkas pada senja. Memerangkap suara hingga tidak terdengar ia.
Mereka bicara tanpa kata apalagi suara.
Mengadu dengan tatapan mata yang tiada rona.
Pada senja mereka bercerita dalam bisu yang menggantung. Membiarkan tatapan mata yang bicara juga membiarkan senja menyapa.

Bila mana malam tiba, mereka berdiri di tepi. Memerangkap rindu yang tidak bisa lagi di hitung seberapa besar ia bersarang. Menyesapi perasaan yang sedikit tak pasti.
Mereka tetap bungkam.
Tidak berkata meski hanya satu kata. Tidak membuka mulit hanya untuk membuat satu suara.

Mereka bicara dalam bisu.
Membungkam rindu yang tiada habisnya.
Menjeda nyata dalam ilusi.
Ini sebuah kisah. Aku tau itu meski tanpa suara. Hanya bisu dalam nyata.
Mereka sama sekali tidak bersuara apalagi bicara.
Hanya diam bersama terdiamnya rindu yang mengusik bilik hati.

Angin mulai menjauhiku.
Membiarkan kisahnya menggantung tanpa akhir. Senja masih merona pucat di sana.
Memenjara cakrawala dalam lembayung pucatnya, meski nayatanya ia selalu mempesona.

Aku bangkit dari kursi, menegak habis sisa kopi di gelas. Berjalan aku keluar. Menatap senja yang tiada berbicara.
Langkah kaki kembali membawaku pergi. Tanpa sadar entah kemana ia membawaku pergi.
Aku tersadar kala kedua kaki ini berhenti melangkah. Tepat dihadapan sebuah danau buatan.

Rona senja seakan memerangkap riak danau. Menampilkan pucatnya cahya senja pada bias airnya.
Disana berdiri seorang anak manusia yang terpaku menatap rona senja.
Diam seolah dunianya hanyut ditelan senja.
Angin kembali berbisik padaku.
Tentang kisah yang dibiarkannya menggantung tanpa akhir.

Lalu aku bergeming. Menatap tanpa kata satu anak manusia yang terpaku di tepi danau dengan mata yang tak berkedip menatap senja. Penuh permohonan juga... pengharapan?

Angin berhembus seolah menertawakanku. Bicara seakan mengolok aku.
Dia tidak melakukan apapun.
Tapi satu yang ku tau.
Dia sedang menuliskan kisah bisunya.
Sebuah kisah kala senja menyapa.
Sebuah kisah bisu tanpa kata apalagi suara.

Dia menorehkan kisahnya tanpa tinta juga tanpa kata.
Hanya angin yang menafsirkannya juga senja yang senantiasa mendengarnya.
Terpekur aku disana.
Dia masih bergeming.
Menumpuk rindu yang tiada bertuan.

Salam Hangat
Ken Auliya
10022018

Balada Syair SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang