Lelucon Semesta

153 1 3
                                    

Kupinta bait puisi yang katanya disampaikan hujan kala ia turun,
Tapi, tak juga kutemui ia.
Lalu, kutanyakan juga puisi yang disampaikan langit kala fajar tiba,
Katanya, lenyap tak bersisa.
Sekali lagi kutanyakan pada semburat senja,
Apa padanya bermuara sekeping puisi?
Senja menatapku damai.
Dibalik temaram jingganya, ia tatap aku tanpa berkedip.
Menyampaikan sesuatu lewat tatap temaramnya.

Senja mulai menyunggingkan senyum.
Menghela sebelum akhirnya berkata
'Ah, sudah tiba ternyata bagiku buat sampaikan bait puisi yang ia titipkan padaku'

Aku diam. Menanti sang senja buat bicara.
Perlahan dibukanya tabir lembayung yang merona.
Menyibak sebuah laksa yang tak ternoda.
Tanpa bicara, diberikannya bait puisi itu padaku.

'Jika tiba waktunya nanti, kembalikan kepingan puisi ini padaku. Biar nanti kuulangi ia hingga tercipta'

Mengangguk pasrah. Tak ada yang bisa kukatakan.
Bait puisi yang kucari, pada akhirnya kutemui ia dibalik temaram senja.
Bermuara, meski tinggal sekeping saja.

Menyibak laksa kubuka keping puisi itu,
Membacanya seksama.

Eh, apa ini?
Nafasku menderu sesaat.
Memejamkan mata, kubuka nurani.
Kepingan puisi ini,
Apa untukku?
Kenapa ia seolah menarik separuh jiwa yang kupunya?
Menariknya ikut bersama keping puisi yang hampir koyak.

Hey,
Kumohon, izinkan aku buat kembali menemui senja.
Izinkan kutanyakan siapa pemilik kepingan puisi ini.
Juga...
Izinkanku buat bertanya,
Mengapa kepingan puisi ini mengambil separuh dari jiwaku?
Menariknya masuk kedalam kepingan puisi yang kubaca.

Tapi tak kutemui senja.
Cuma malam yang menyapa.
Bergerak seumpama riak.
Mempermainkan aku yang menunggu senja kembali.

Semesta seolah menyerapah.
Mencemoohku yang menanti senja meski ia baru lenyap.
Apa lelucon semesta selalu seperti ini?
Bahkan baginya mungkin aku cuma lelucon. Mainan yang kan buatnya tersenyum lepas.

Hey,
Saat separuh jiwaku rasanya tertarik lepas mengikuti kepingan puisi itu,
Apa pemilik puisi ini juga menyimpan separuh jiwanya disana?
Bergumul dengan kata.
Berasumsi dengan diksi.
Tidak bisakah,
Kutemui ia sekali saja?

Pemilik kepingan puisi ini,
Apa ia juga menyampaikan syairnya lagi pada senja?

Kutemui lagi senja dipenghujung arai.
Dengan tergesa menanyainya tentang keping puisi yang ia berikan kemarin.
Namun senja menatapku sendu.
Mencermati kepingan puisi yang kukembalikan padanya.
Menelan ludah.
Sesak menggerogoti nafasku.
Senja terasa lebih mencekam detik itu.

'Baru saja, ia bawa kembali larik puisi yang kau punya. Kenapa kau baru kembali?
Ia baru saja pergi dengan keping puisi lain yang tak kuberikan'

Bisa kudengar semesta tertawa.
Menertawakan aku yang termangu menatap senja.
Kenapa...
Katakan padaku,
Kenapa lelucon semesta semenyedihkan ini?
Hey, jika aku lari mengejar, apa kan kutemui ia?
Sang pemilik bait puisi yang kepingannya masih kugenggam erat?

Senja kembali menatapku sendu.
Menggeleng tertahan.
Lembayungnya menyelimuti aku.
Seolah katakan jika tidak akan ada yang terjadi meski kukejar ia.
Terlambat.
Ini bahkan lebih menyakitkan daripada saat tak kunjung kutemui bait puisi itu.

Setelah ini, senja,
Apa semesta masih akan membuat hidupku bagai lelucon?
Menampik aku dari jatuhnya laksa.
Tidak bisakah sekali saja semesta mengizinkanku beristirahat?
Meski hanya sedetik, tidak bisakah aku berhenti sejenak?

Wahai senja...
Tidak bisakah sekali saja, semesta mengizinkanku bertemu dengannya?
Sipemilik puisi yang kupinta darimu?

Salam Hangat
Ken Auliya
23092017

Balada Syair SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang