Aku mendadak muak dengan Fabian. Suaranya, aroma parfumnya, semuanya. Melihatnya memindahkan barang-barangnya ke kamar Boy malah membuatku jijik. Aku bahkan tidak perduli bahkan bila mama marah sekalipun. Aku enggan membantunya waktu itu.
Aku terlalu kesal. Terlalu lama merasakan perasaan ini sendirian tanpa balasan. Merasa dimanfaatkan. Digunakan entah untuk apa.
Aku sadar, Fabian pernah bilang jika ada aku... orang-orang disekitarnya akan berhenti 'mengganggunya'. Mereka dari organisasi, anak-anak di kelas atau dosen sekalipun enggan meminta bantuannya kalau ada aku. Entahlah, menurutnya diriku ini seperti tameng ajaib. Tameng yang seketika membuatnya tak terlihat oleh siapapun.
Pagi ini, aku biarkan saja dia dikerumuni orang-orang. Yes-men seperti Fabian tidak akan pernah sanggup melawan kerumunan. Anak-anak sekelas yang merepotkannya itu tak akan berhenti merepotkannya sampai ia benar-benar tumbang.
Lalu ada Martin, yang pindah ke kelasku. Menempel padaku. Kemanapun aku pergi, dia mengikuti. Toh, hanya aku yang paling dikenalnya di kelas ini. Selain manja, Martin juga pemalu. Setidaknya dia bisa jadi dinding antara aku dan Fabian untuk sementara waktu.
Dan bukankah Martin sangat tampan? Dia lugu... lebih lugu dariku. Aku merasa aman dekatnya dibanding Fabian. Kenapa? Karena Martin jujur. Tidak seperti Fabian. Firasatku mengatakan jika Fabian menutupi sesuatu dariku. Menyembunyikan sebuah agenda. Apakah itu untuk melawanku atau menghancurkanku. Aku tidak tahu. Permainan tarik-ulurnya sudah tidak bekerja lagi padaku. Aku harap dia menyadarinya.
"Tidak makan sama Fabian?" Martin menyisir rambut brunette-nya dengan jari sambil berkaca di ponselnya. Lalu menoleh padaku. Sementara seisi kelas lainnya sudah mulai bubar dan berpindah keluar.
"Uhm, sekali-kali kita perlu makan berdua saja. Kau punya referensi tempat bagus? Di luar kampus? Yang dekat-dekat sini saja sudah cukup...."
Matanya membulat. Dia menjatuhkan tangan yang menggenggam ponselnya itu ke atas meja. "Betulan? Kau mau makan dengan Martin? Berdua?" serunya bersemangat, mengangguk cepat seperti anak anjing.
"Iya... tapi kau yang traktir, ya." kutumpu wajahku dengan tangan, menghadapnya. Flirting. Sengaja menggodanya, memanfaatkannya. Dia menyetujui. Bodohnya...
-|☆|-
"Kau mau makan apa? Ini dan ini paling enak." Martin menunjuk buku menu, menceritakan bahan-bahan dalam sushi yang ada di menu sampai rasa dan sejarahnya. Aku hanya memandanginya sambil tersenyum lesu. "Ah, kau pasti suka yang ini. Bagaimana kalau kita pesan dua yang ini dan dua yang ini."
"Boleh, terserahmu saja. Kau yang traktir, kan?"
"Iya..." dia mengangguk bahagia. Barisan gigi rapinya itu mejeng dengan indah di wajahnya.
"Kau pasti sangat menyukaiku, sampai-sampai pindah kelas dan mentraktirku begini? Kau suka padaku?" ceplosku. Gilanya, keberanian seperti ini bisa kulakukan kalau aku menghadap orang yang tidak kusuka. Maksudku, aku juga tidak benci Martin. Kalau saja aku laki-laki seperti Daryl atau setidaknya punya mindset seperti Fabian. Aku pasti menganggap tingkah manja Martin padaku ini sangat cute. Sayangnya tidak begitu.
Dia menunduk malu, pipi wajah setengah bule di depanku ini merah semu. Jarinya menggaruki meja makan, mengukir lingkaran dengan kukunya. "Iya, Martin menyukai Raizel. Martin masuk ke Drama juga karena Raizel. "
Aku hanya bisa cekikikan sambil menutup mulut dan membuang muka, menertawakan. Keluguannya yang seperti ini jenaka sekali. "Gay... kakakmu tahu kau seperti ini?"
Martin menggelengkan kepalanya. Manik matanya melumerkan senyum tadi. Berganti sedih disana.
"Tak apa. Kita berteman seperti biasanya. Pastikan dulu perasaan itu benar. Percuma kalau dilanjutkan, tapi ternyata hanya sesaat saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017