Kepalan tangan Fabian mendarat di pipi Daryl dengan sempurna. Daryl sempat terhempas dan nyaris jatuh, namun tubuh kokohnya kembali menghajar Fabian dengan pukulan yang sama persis. Namun, alih-alih mengarah ke wajah Fabian, Daryl meninju perut Fabian hingga Fabian mengerang kesakitan.
Pikirku mereka akan berhenti disitu. Sialnya Daryl terlanjur menarik kerah pakaian Fabian, bersiap menghunuskan tinju lainnya. Beruntung aku berhasil menarik tubuh telanjangnya agar terduduk di lantai menimpaku.
Sadar beban tubuhnya menyakitiku, Daryl langsung memutar tubuhnya, membopongku ke kasur sementara Fabian hanya bersimpuh di atas lantai dengan tubuh melengkung bak padi yang menguning. Menekuri kedua tangannya tak percaya. Pikirku, dia kaget dengan ulahnya sendiri. Fabian tipikal orang yang akan menyalahkan dirinya sendiri jika ia gagal melakukan sesuatu, termasuk dalam hal menahan dirinya dari emosi yang meluap. Fabian terlihat begitu menyesal sekarang.
"Pakai pakaianmu..." Daryl menutupi tubuhku dengan selimut lalu cepat-cepat mengumpulkan pakaianku yang berserakan di lantai dan menyodorkannya padaku. Untuk catatan, kami sama-sama telanjang. Jadi wajar kalau Daryl tergesa mengenakan pakaiannya sebelum menghadap Fabian. "Aku harus bicara dengan bajingan ini." desisnya padaku.
Daryl menggusur Fabian ke luar kamar, aku segera mengikuti keduanya. Ingin mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi tidak bisa. Daryl mendorong tubuhku yang hanya berbalut selimut ini satu meter menjauhi pintu kamar. Ia menutupnya dari luar sambil memberi isyarat agar aku tetap diam di kamar.
Lalu seketika aku khawatir jika saja mereka akan bertengkar lebih hebat nanti. Wajah mereka yang berdarah-darah sudah terbayang di otakku. Bukan cerita baru kalau mereka bisa saja bertengkar hebat. Daryl bilang mereka nyaris membunuh satu sama lain waktu SD dulu. Apa mereka masih seperti itu sekarang? Aku takut...
-|❂|-
Tubuhku sudah terbalut piyama, menggantikan pakaianku yang dilucuti Daryl sepersekian menit lalu. Aku terus mencari keberadaan dua laki-laki yang meninggalkanku sendiri di kamar. Aku menelusuri lantai bawah hingga halaman belakang, mereka tidak terlihat. Kukira, jika hanya berselang beberapa menit mereka tidak mungkin pergi jauh. Tapi aku salah... motor Daryl tidak ada di halaman depan. Mereka pergi entah kemana...
Sekitar pukul 8 malam mama dan Boy pulang ke rumah, Vanessa dan Nikita tidak terlihat dalam mobil mama. Mereka pasti sudah di antar pulang oleh mama. Mama yang melihatku berjalan mondar-mandir di teras langsung memegangi bahuku, memberiku wajah khawatir, bertanya kalau tadi ada perampokan atau sesuatu lainnya. Aku hanya menggeleng. "Jadi ada apa, nak?"
"Daryl dan Fabian bertengkar, ma. Mereka sempat pukul-pukulan. Aku tidak bisa mengontak mereka karena ponsel keduanya tertinggal di rumah. Aku khawatir..."
Mama menyuruhku masuk, Boy yang masih punya banyak energi terus menemaniku dan mama menunggu di sofa ruang tamu. Sesekali anak bau kencur itu menghiburku dengan tingkah jenakanya. Tapi tetap saja perasaan getir ini tak kunjung surut. Malah makin berat saat jarum jam menunjuk pukul 9 malam.
Lalu Boy ditarik mama ke lantai dua, mama menggantikan pakaian dan membacakan dongeng kesukaan Boy hingga ia terlelap. Setelah menidurkan Boy di kamarnya, mama sibuk di dapur, membuatkanku sup panas, khawatir denganku. Seakan tahu kalau aku belum makan apapun sejak tadi siang.
"Bukannya kamu bilang Daryl pindah?" mama kembali menyeruput kopinya.
"Iya, tapi ia kembali ke sini karena... Ya... karena ingin..." bingungku. Tidak enak bicara gamblang pada mama.
"Daryl benar-benar menyukaimu, kan?" mama menghakimiku, menyudutkanku. Membuatku jengah saja.
"Mama tidak akan memaksaku dengan Martin, kan?" balasku enggan mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017