Pt.2| Mini Chapter 4 : Team

1.3K 191 68
                                    

"WHAT ???" rahangku nyaris jatuh ke lantai saat Martin mengatakannya. "Kalian serius?"

"Iya, kami serius..." Fabian membantu menjawab.

"T-tapi bukannya kau...maksudku... kalian... huh..." aku layu, menumpu wajahku dengan tangan. Menyerah. "Ah, sudahlah."

"Ini keputusan yang cukup berat sebenarnya. Tapi, tekad kami sudah bulat..." Martin mengepalkan tangan di udara. Berapi-api. Laki-laki kekanakan itu tersenyum sumringah menghadapku.

Aku menebah dahiku sendiri, mengurutnya karena tekanan yang mereka berikan. "Maksudku... Fabian... kau mengorbankan kesempatanmu jadi kandidat ketua BEM, karena ini? Dan Martin... kau tahu kan betapa susahnya aku menitipkanmu ke pelatih musik. Katamu kan ingin bergabung dengan ekskul musik. Lalu sekarang? Arrghh..."

Fabian menepuk pundakku. "Hei, katamu aku perlu bertindak seinginku, kan? Ini pertama kalinya aku memutuskan sesuatu tanpa bertanya padamu... Ini keinginanku. Aku ingin melakukan hal yang berbeda mulai sekarang."

Fabian merengkuh lenganku ke dekatnya. "Kau pernah bilang kalau aku ini sering dimanfaatkan orang. Aku sadar... aku melakukan ini-itu karena aku seorang yes-men. Aku kesulitan menolak permintaan orang lain. Kali ini biarkan aku belajar menjadi lebih egois. Aku lelah, melihat hal-hal yang kuinginkan ditarik dariku..."

Kedua matanya menatapku dalam-dalam saat mengatakan kalimat terakhirnya. Apa yang kau maksud itu diriku ?

"Mereka pasti kecewa kau mundur dari pencalonan ketua BEM tahun depan... Teman-teman organisasimu itu sudah banyak berjuang untukmu. Memangnya kau bisa menangani perasaan mereka?" tancapku. Mengubah alur pembicaraan.

Fabian membuang muka ke arah lain. Menatap lurus, tanpa tujuan. "Itu urusanku. Konsekuensi yang harus kutanggung. Meski mereka memohon, aku akan tetap menolaknya. Sejak awal, aku bergabung karena tidak bisa menolak ajakan mereka... lalu sampai keterusan seperti sekarang. Aku tidak suka berpolitik."

"Kak Fabi kan pecinta damai..." Martin menyeletuk, lalu kembali menyedot milkshake miliknya dan berbaur dengan keramaian kantin kampus.

Menghela nafas. "Ya sudah... Kalau kau memang ingin bergabung dengan klub basket silahkan. Aku tidak akan melarang... Tapi aku akan membatasi diriku. Aku tidak akan terlalu sering menemani Daryl latihan. Karena kau juga nantinya disana..."

Martin nyaris tersedak saat hendak kembali bicara padaku. "Lho, kok?" ia melirikku dan Fabian bergantian.

Martin mengelap bibirnya dengan jari. "Martin gabung basket biar bertemu Raizel juga, lho... Martin kan keluar Drama karena Raizel keluar... Buat apa Martin gabung kalau Raizel tidak lihat?"

Okay, aku tidak ingat sejak kapan Martin jadi overly outspoken seperti ini. Firasatku si introvert ini sudah kelewat nyaman denganku dan Fabian sampai-sampai jati dirinya yang asli ini terlepas. Kupikir ia akan sama pendiamnya dengan Fabian atau setidaknya tidak terlalu berani berbicara langsung tanpa berpikir seperti ini. Nyatanya, Martin impulsif.

"Bukannya kau sudah berhenti mengejarku? Kita kan sudah deal..."

Martin melirik Fabian. "Aku meniru pemikirannya kak Fabi. Kata kak Fabi, Raizel pernah bilang kalau hidup itu tidak boleh terlalu menuruti pikiran orang lain. Harus lebih santai...relax... Jadi, daripada mengikuti norma dan kembali berpura jadi baik, aku mau mengejar Raizel sekali lagi."

Kalimat kekanakannya itu sukses membuatku ingin menggerutu tingkat dewa. "Silahkan saja... kalau kau bisa membuang sifat kekanakanmu, bisa jadi ekstrovert seperti Daryl, bisa terlihat lebih jantan dari ini... silahkan saja... aku rela dikejar. Tapi untuk saat ini, aku tidak suka padamu. Aku anti pacaran dengan bocah. Apalagi yang in closet sepertimu. "

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang