Pt.2| Mini Chapter 17 : Deja vu

1K 141 198
                                    

"Aku perlu bicara sebentar denganmu... Kumohon..." pinta orang itu. "Ini sangat penting...."

"Aku tidak ingin sedetikpun bicara denganmu. Enyahlah..." Raizel nyaris menutup pintu utama dengan kasar. Fabian menahan tangan Raizel, menghalau pintu tadi agar tidak membentur dan membuat suara keras yang menyinggung. Fabian meminta maaf pada tamu itu, menyuruhnya menunggu lewat isyarat mulutnya, tanpa suara. Pintu pun ditutupnya perlahan.

"Raizel, kau ini tidak sopan sekali. Jangan seperti ini... Ada baiknya kau mendengarkan terlebih dulu sebelum bertindak..."

"Ck!" decaknya. Raizel menendang lantai, melipat tangannya. "Ya sudah, suruh dia masuk!"

Raizel berjalan ke sofa ruang tamu. Mendudukkan dirinya paksa dengan pose duduk yang defensif. Fabian hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya, berusaha memaklumi. Pintu kembali dibuka dan orang itu langsung sigap menatapi Fabian, menunggu kalimat dari mulutnya keluar. "Silahkan masuk..."

Orang itu mengangguk cepat, rikuh. Masuk lalu melepas sepatu dengan sungkan, nyaris ketakutan. Bertingkah seperti kerdil di dunia raksasa. Terancam meski tak ada apapun yang ingin menyakitinya. Fabian mempersilahkannya duduk di seberang Raizel sementara Raizel menyilangkan kaki dan membuang muka saat wajah orang itu meminta perhatiannya.

"Bukankah ada yang perlu kau katakan?" Fabian membuka percakapan sesaat setelah bokongnya mendarat di sofa. Tak membiarkan tamu itu terus membeku karena kaku.

"A-aku kesini untuk minta maaf. Aku tahu, kau sama sekali tidak ingin terlibat dalam usaha kami mengusut ulahnya Randi. Tapi aku terlanjur..."

Menyela. "Memperlihatkan video-ku? Benar begitu, kan?" tembak, Raizel. "Kau ini benar-benar sialan! Sudah kuduga akan seperti ini..."

Tamu itu menunduk. "A-aku benar-benar minta maaf..." kedua tangannya bergetar.

"Kapan kau melaporkan ini?"

"T-tiga hari lalu... Semua di grup juga hadir melapor..."

Memotong. "Kau tahu, aku sengaja keluar dari grup Line kalian. Kupikir usaha kalian sudah berhenti dan aku bisa hidup tenang. Lalu Kalian malah bertindak seperti ini. Sudah puas mempermalukanku di depan dekan kampus?

"Apa kau tidak memikirkan kalau saat sidang skripsi nanti aku akan menghadap mereka? Mau disimpan dimana mukaku, Elsa?!" sambung Raizel dengan penuh penekanan.

"Raizel! Tenanglah!" Fabian ikut menghentak, menatap Raizel nyaris memelototi. Namun ia cukup sabar untuk kembali mengarahkan wajahnya pada Elsa. "Lanjutkan apa yang ingin kau katakan..."

"A-aku.... Aku tidak bisa berbuat banyak. Yudha dan lainnya yang meminta itu ditayangkan. Percayalah Raizel, aku sudah berusaha melindungimu... Tapi mereka juga berjuang untuk diri mereka sendiri..."

"Lalu hasilnya? Kalian menang?" Fabian menggantikan Raizel, bertanya langsung ke poin utama.

Elsa menyoroti Fabian dengan kedua matanya. "Kami menang. Randi tidak lagi jadi pelatih di kampus. Kasus ini akan dibawa ke meja hijau." Elsa kembali mengiba pada Raizel. Kedua tangannya bertautan, memohon. "K-kami akan butuh kesaksianmu untuk menguatkan posisi kami."

"PERSETAN DENGAN KALIAN! Aku tidak sudi dilibatkan. Keluarlah dari rumahku... Aku tidak tahan ingin memukul wajahmu sekarang. Enyahlah!"

Elsa menelan ludah. Tubuhnya bergetaran. Berjalan menunduk hati-hati menuju pintu utama. Ia bahkan tidak mengambil waktu untuk memakai sepatunya di dalam ruangan. Menjinjingnya keluar.

"Anjing!" Raizel menyumpah. Fabian kaget mendengarnya. Selalu terhenyak setiap kali bertemu sisi lain Raizel yang kasar seperti ini.

"Kau baik-baik saja?" Fabian mengatakannya hati-hati.
Raizel menyeringai kesal, kedua matanya berkaca-kaca. Ada dendam disana. Tak lama air mata itu tumpah. Raizel mengepalkan tangan, menjenggut kulit sofa penuh emosi. Fabian sontak menghampiri, berlutut di lantai menghadap Raizel. Memegangi kedua tangannya. "Bersabarlah, belum tentu seburuk itu..."

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang