Pt.1| Mini Chapter 18 : Regrets

1.7K 239 54
                                    

Kemarin Raizel dimarahi mamanya. Karena laporanku lusa lalu saat ia bolos kuliah. Untung, cerewetnya tante Tyara berhenti saat kubilang Raizel sakit.

Tante Tyara jadi balik memarahiku karena terlambat lapor. Kelihatannya tante juga sedikit murka karena bukan aku yang mengantarnya ke dokter. Dalihku, Boy sudah terlanjur di rumah. Tapi tidak cukup. Tetap salahku.

"Aku malas makan." Raizel menyisihkan mangkuk bubur buatanku. Tak adil. Raizel hanya makan kalau sedang sendirian. Keberadaanku jadi pembunuh nafsu makannya. Sekarang, di kamar ini aku hanya dianggap angin kosong. Dia hanya sibuk dengan ponselnya sendiri. Aku sadar kalau aku jadi kalah telak dengan sebuah gawai. Dia lebih memilih layarnya daripada mengajakku bicara.

"Kakakmu berubah ya, Boy. Kak Fabi rindu kakakmu yang dulu." curhatku sambil memandikan Boy. Bocah yang kepalanya berbusa ini memainkan bebek karet kuningnya tanpa mendengarku. Setidaknya ia begitu karena dia hanya anak-anak. Boy tidak mengabaikanku karena 'ingin' seperti Raizel.

"Tuut tuuut... Bebeknya naik kereta... huuwhuuuw..." Boy menepuk-nepuk air. Menciprat-ciprat bebas. Bahagia.

"Kak Fabi ingin seperti Boy. Enak ya jadi anak-anak." monolog lagi. Didiamkan lagi.

Malamnya Daryl datang ke rumah. Lengkap dengan sekotak kue. Menghinaku yang hanya bisa memberinya bubur dua hari ini. Raizel lebih suka makan cheese cake daripada masakanku. Lebih miris lagi saat aku berusaha menawarinya menu lain yang bisa kumasak. Tampaknya, aku seperti sedang mengemis pada Raizel. Aku terlihat menyedihkan. Aku rendah sekali sekarang.

Hanya Boy yang bersemangat makan dari suapanku. Lagi-lagi malamku habis mendengar celotehan Boy. Padahal ingin sekali mengobrol dengan Raizel. Tapi Daryl di dalam kamar itu. Pintunya dikunci. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan tapi dadaku sesak setiap melihat pintu itu. Ingin kudobrak saja kalau boleh.

Krek... Knop pintu berputar. Pintu terbuka. Daryl membawa piring kotor ke lantai bawah. Aku melongok keluar dari pintu kamar Boy. Raizel duduk di kasurnya, tersenyum. Meski jauh aku tahu dia tersenyum. Apa karena manis kuenya? Atau manis tingkah Daryl padanya? Jelasnya, aku luka. Rasanya mencekik.

"Ini. Raizel menyisakannya untukmu. Seharusnya ini untuk besok. Tapi dia bersikeras ingin kau yang makan. Ini..." Sodoran tangannya memaksaku menerima sisa kue itu. Anggukanku sambil cuci piring ini mengirimnya kembali ke atas. Ke kamar Raizel.

"Kamu murung. Kamu baik-baik saja? Tante kira kamu senang disini..." Tante Tyara timbul dari belakang. Berdiri di sampingku sambil menatap jendela yang menghadap halaman belakang. "Raizel marahan denganmu?"

"Tidak, tante."

"Jangan bohong, Fabi."

"Ya, begitulah tante. Raizel sedang tidak ingin bicara padaku."

Tante Tyara menepuk punggungku. "Bersabarlah, tidak akan lebih dari seminggu. Dia pasti rindu padamu."

Telingaku menyukainya. Kata-kata itu. Tentang Raizel yang akan rindu padaku.

"Fabi!" Tante Tyara mengguncangku.

"Melamun, ya?"

"A-ah tidak tante..."

"Malam ini, tidurlah dengan Raizel. Boy biar tidur di kamar tante. Ganti kompresnya dengan yang baru. Raizel tidak bisa pakai kain yang sama seharian. Nanti jerawatan..." Tante Tyara terkekeh kecil lalu hilang ke kamarnya.

Telingaku menangkap suara Boy yang berteriak girang dari kamar tante Tyara. Begitupun aku, yang ingin teriak senang karena boleh tidur di kamar Raizel.

Piring-piring sudah bersih, dapur sudah rapi, aku berlari ke atas. Telapak kakiku seolah terbang. Semangatku berkeliaran di dada, mengajakku berdansa menuju kamar Raizel. Lalu sirna begitu saja saat Daryl melingkari Raizel dengan tubuhnya. Menyatukan dirinya dan Raizel, berbaring nyaman disana sementara aku tertawan disini. Tak bisa masuk ataupun mundur. Apapun jadi salah karena Daryl menangkapku dengan matanya.

Rivalku itu tersenyum.

Menghancurkanku dengan isyarat cemoohannya. Sunggingan miring bibirnya itu sukses merebak benci di diriku. Tanpa sadar aku sudah berjalan ke arah sebaliknya. Menyendiri di ruang duduk lantai dua. Tak berkutik barang sedikitpun. Kecewa.

"Hei..." Raizel membangunkanku yang tertidur, dia masih berlindung dalam kubah dari selimut yang melapisi badannya. "Ayo tidur."

Hatiku melonjak saat tangan hangatnya menarik tanganku. Membawaku ke kamarnya.

"Panasmu, sudah membaik." Raizel tidak membalas perkataanku. Tanganku di dahinya tak membuatnya bersemu. Aku lupa tujuan awalku menyentuh dahinya, jemariku malah membelai pipinya. Bertatapan lama dengannya. Tapi air mukanya tak berubah. Kosong. Menembusku.

Dia berbaring, aku mengikuti. Aku menghadapnya, dia sengaja membelakangi. Bukannya waktu itu dia yang memelukku semalaman suntuk. Saat aku menggigil, saat mentalku kering dari logika. Dia memelukku. Membelai rambutku.

Baru terasa, indah perbuatannya itu. Aku terlambat merasakannya.

Bodohku, aku terus berenang dalam kenangan, memutar kembali memori, menari dalam hembusan ceritaku dengan Raizel. Menyisakan biru di dadaku. Rasa rindu yang tak terbendung.

Rindu pada orang yang ada di depanku. Seseorang yang tak lagi bisa kugapai. Benar jika sesal datang belakangan, Benar jika kita tidak akan sadar dengan apa yang kita miliki hingga akhirnya kehilangan. "Aku kehilanganmu, Raizel..."

Raizel berbalik, wajah kagetnya membuatku kaget. Mulutku mengikuti otakku, dan otakku tak sengaja menggerakkan mulutku. Gara-gara melamun...

"Iya,  hilang. Kau pasti senang sekarang." Raizel berbalik lagi, membelakangiku lagi. Padahal aku berharap dua menit saja darinya. Tapi aku tak bisa memaksanya.

Meski menginginkannya.

-|☆|-

Warning : You gotta read more to see the awesomeness...

Tell all your friends too...
They'd love this novel...

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang