Sabtu, 01 April 2017
Pesan-pesanku di media sosial tidak juga terkirim. Tidak ada satupun tanda checklist. Tidak ada notifikasi darinya. SMS-ku tak pernah dibalasnya. Nomornya tidak pernah lagi aktif. Meski begitu aku terus mengiriminya SMS seolah dia ada dan membalasnya. Hanya pertanyaan standard seperti 'Sudah bangun?' atau 'Selamat makan siang', bahkan 'Selamat tidur'. Pesanku yang terakhir pagi ini padanya hanyalah 'Ini hari Sabtu, hari pertandingan tim basketmu. Kau sudah siap bertanding, kan?'. Lalu luka lainnya menganga di hatiku. Kedua mataku selalu memanas setiap kali menekan tombol 'kirim'.
Aku tahu dia tidak akan pernah membalasnya.... Kalaupun dibalas, belum tentu perasaanku masih seperti sekarang. Karena perlahan perasaan ini berkurang kadarnya sedikit demi sedikit. Menyisakan after taste-nya yang pahit.
Kalau dibilang tidak berusaha? Aku sudah melakukan semuanya. Aku sudah meminta bantuan Kevin, Rogan bahkan Sadha perihal keberadaan Daryl. Tapi mereka hanya menunduk dan membuang mukanya dariku setiap aku menanyakan itu. Mereka juga tidak menganggap keberadaanku setiap kali aku mengunjungi mereka di fakultas teknik. Mempermalukanku, memperlakukanku seperti orang gila yang sengaja tidak diajak bicara.
Lalu Fabian marah karena perlakuan mereka padaku. Ia bilang hatinya sakit melihatku diabaikan. Jadi dia kembali menemaniku seperti dulu. Pikirku, Fabian tahu dimana Daryl. Tapi aku salah... Sejak mereka melakukan 'itu' setelah perpisahan sekolah tahun lalu, mereka tidak pernah membahas hal-hal pribadi kecuali tentangku. Fabian memang tidak pernah tahu dimana kediaman ayahnya Daryl. Mungkin Kevin dan lainnya juga demikian. Karena aku bisa merasakan adanya kekosongan saat mereka main. Mereka juga kehilangan seorang kapten. Kehilangan sahabat mereka. Artinya ini juga tak mudah bagi mereka.
"WWOOOAAAA!!!" sorak sorai pendukung tim lawan berteriak garang saat tim mereka mencetak poin. Kevin dan Morgan terlihat frustasi. Menendang lantai dengan wajah kesal mereka. Lalu pikiranku kembali mengawang... kembali ke masa dimana Daryl bermain bersama mereka, berlarian di lapangan, memberi arahan, menjadi penyelamat tim yang selalu bisa diandalkan.
Terkadang, senyuman dan acungan jempol Daryl untukku masih terbayang jelas. Aroma keringatnya, basah tubuhnya, barisan giginya yang rapi, bibirnya yang siap menciumku di ruang ganti. Semuanya masih terasa nyata di tubuhku. Apalagi hari Minggu yang lalu... setiap jengkal memori tentangnya terpatri. Tak bisa kuhapus sesulit apapun aku mencobanya.
"Kita pulang, yuk? Mereka kalah telak, tidak akan ada pertandingan lanjutan untuk tim fakultas teknik. Ini sudah pukul 4 sore. Kita harus menjemput Boy. Kasihan bibi Han harus mengurusnya di hari libur." Fabian terdengar khawatir. Wajahnya sama sedihnya dengan wajahku. Kau sangat mengkhawatirkanku dan Boy ya, Fab?
"Ayo pulang...." datarku. Kami turun dari tribun, menyusuri kerumunan, berjalan menuju parkiran kampus,berjalan beriringan. Fabian terus melirik padaku, memastikan mimik wajahku berubah. Lalu ia merangkulku menuju motornya. Menyemangatiku dengan tepukan di pundakku. "Fab..."
"Uhm?" ia menoleh, tangannya baru menyentuh stang motornya."Kenapa?"
"Apa Daryl juga pindah kuliah? Bagaimana dengan perabotan rumahnya? Apa nanti akan ada yang mengambilnya? Apa kita bisa dapat informasi? Apa kita..."
"CUKUP!" Fabian, menggebrak motornya. Menghenyakkanku dengan amarahnya yang tiba-tiba. "Kumohon hentikan."
Kedua tangannya bertumpu di atas jok, Fabian mendesis memohon pengampunan. Menahan emosinya sendiri."Maaf..." tundukku.
"Sudah waktunya berangkat..." suaranya kembali lemah lembut seperti biasanya. Tak lupa menyematkan senyum simpulnya untukku.
-|❉|-
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017