Seperti rencanaku dan Daryl. Kami pergi nonton... berdua... Aku dan Daryl. Sejak aku turun dari motornya, aku tahu kalau acara jalan-jalanku akan berbeda dengan biasanya.
Bukan karena ini weekend dan mall penuh. Tapi lebih pada keadaan perasaanku sekarang. Aku belum stabil karena kejadian dengan Randi. Aku masih penuh dengan emosi dan terkadang tidak stabil, tapi di saat yang sama aku juga merasa sedikit lega dan terhibur karena Daryl. Aku senang bisa berjalan berdua dengannya hari ini.
Seperti rencana kami sebelumnya, kami terlebih dulu membeli tiket pertunjukkan. Setelah tahu waktu dimulainya film dan teater mana yang perlu kami masuki, kami meluncur ke supermarket lantai dasar. Sengaja menghabiskan waktu sembari menunggu film dimulai. Kami hanya punya setengah jam untuk berlanglangbuana di supermarket, membeli beberapa kudapan dan minuman untuk diselundupkan ke teater pertunjukkan.
Seperti supermarket lainnya, sudah tentu jika kami perlu menelusuri seksi lainnya sebelum kami tiba di seksi makanan dan minuman ringan. Daryl terus mengobrol denganku selama perjalanan. Sesekali tangannya iseng memegangi benda-benda di sekitarnya. Yang membuatku malu adalah saat ia berpapasan dengan manekin tanpa pakaian. Ia langsung menelungkupkan tangannya di dada manekin itu, lalu...
"Raizel, lihat ini..." sekarang bokongnya bergerak maju mundur sementara kedua tangannya memainkan boobs manekin malang tadi. "Ah, ikeh... kimochi... ikeh..."
"Ih, kau ini... memalukan saja. Banyak yang lihat tahu..." aku menebah kepalanya, tapi reaksinya tak seperti inginku. Laki-laki di depanku ini malah tertawa puas.
"Ini bercandaanku dengan anak basket, kau tidak suka, ya?"
"Tentu saja... aku bukan teman basketmu. Aku tidak familiar dengan aksi seperti itu. Jangan membuatku malu... Sini!" aku menarik Daryl dari hadapan manekin tadi. Beberapa pasang mata terlanjur menghunjamku, membuatku terpaksa menunduk tersenyum sambil meminta maaf. Untungnya keluarga yang tidak nyaman dengan aksi Daryl tadi mengerti arti senyumku.
Daryl lalu menarik perhatianku, merangkulku agar kembali berjalan menuju seksi kudapan. "Ya, marah... pacarku tampan deh kalau sedang cemberut..." ia memperhatikan wajahku yang seketika berubah padanya.
"Tingkahmu terlalu jelas. Aku bisa merasakan orang-orang melihat kita aneh. Lepaskan rangkulanmu." kalimatku membuat langkah kami terhenti.
"Kok, begitu? Apa salahnya kalau kita terlihat 'jelas'? Apa urusan mereka? Kau memang pacarku, kan? Aku bebas mau seperti apapun denganmu di tempat umum. Lagipula yang kita lakukan ini wajar. Urusan kita juga bukan urusan mereka. Abaikan saja..." lalu Daryl dengan santainya kembali berjalan sambil merangkulku lebih dalam. Aku jengah pada orang-orang, tapi juga merasa terlindungi karena Daryl begitu kokohnya melingkupiku. Semoga ia tidak sadar dengan senyumku yang terus mengembang ini. Aku tidak mau ia jadi besar kepala. Daryl selalu terbang kalau merasa dipuji. Monologku dalam hati.
"Kalau beli di bioskop mahal..." kata Daryl. Mengubek jajaran kudapan di depan kami.
"Iya juga, sih... Tapi apa tidak apa-apa menyelundupkan makanan begini. Aku belum pernah melakukan ini."
"Tak apa... Daripada uangmu habis oleh kaum kapitalis yang mengelola bioskop itu. Kan sayang... Lebih baik begini. Lebih hemat. Toh, satpamnya tidak akan memeriksa tasmu."
"Iya deh, iya..." aku kembali mengedarkan mataku pada kudapan yang berjajar di rak.
Berbeda dengan Fabian, Daryl hanya setia dengan minuman dan makanan yang familiar di otaknya. Ia enggan banyak berpikir dan mengambil sebatas yang disukainya saja. Jauh lebih simpel daripada Fabian yang sering membanding-bandingkan harga, mencari item yang paling bagus menurutnya dan menanyakan pendapatnya padaku sebagai perbandingan. Daryl jauh lebih cepat memutuskan dan lebih cekatan, setidaknya menurutku.
Tapi satu hal yang membuatku memandang sebal dirinya. Ia berani makan makanan yang belum dibayarnya. Maksudku... ia seharusnya membayarnya dulu sebelum memakannya. Ini supermarket... dan kasir berjarak puluhan meter. Rasanya tidak etis jika kami memakan belanjaan sebelum dibayarkan ke kasir. Dan lagi, apa ia tidak takut dianggap penguntit? Kami bisa saja ditarik ke kantor keamanan dan diinterogasi petugas keamanan karena ulahnya.
"Nanti kan aku bayar. Wajar dong aku makan duluan. Kau mau aku mati kelaparan disini, huh?"
"..." aku hanya mendelik sambil membawa belanjaanku ke antrian di depan meja kasir. Tidak mengatakan apapun padanya selain menghentakkan kaki sesekali karena jengah dengan tingkahnya yang tak sadar tempat. Meski sudah menunjukkan wajah gemas sekalipun, Daryl tidak menghentikan aksinya. Ia terus mengunyah dan mengosongkan sebungkus kudapan di tangannya. Sudahlah bunyi makannya berisik, mengganggu antrian, ia juga bersandar seenaknya. Membuat pengunjung lain jadi risih. Untuk sesaat aku begitu ingin mengetuk kepalanya dengan martil agar ia lebih beretika saat bersamaku. Tapi aku tidak bisa seperti itu.
Sesampainya di meja kasir, aku kembali menanggung malu karena kasir yang menangani belanjaanku harus berurusan dengan bungkus snack kosong yang isinya sudah habis dilahap Daryl. Si kasir bahkan sedikit tertegun melihat bungkus kosong itu. Pikirnya, kami memungut sampah dan membayarnya. Padahal tidak demikian.
"Tuh, bisa dibayar, kan?" kata Daryl saat pegawai di depanku menelusuri bar code belanjaan kami.
"Iya, tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Rasanya seperti pencuri, tahu..."
"Iya, maaf deh maaf. Kau yang bayar semuanya, ya!"
Setelah membayar, kami memasukkan semuanya ke dalam tas. Tas siapa? Tentu tasku. Karena Daryl enggan membawa tas, karena katanya akan merusak penampilannya yang sudah keren dengan jaket bomber. Yang benar saja, deh... -_-
Tadinya aku nyaris misuh-misuh karena kesal, namun kecewaku terbantahkan saat ia menarik tas di punggungku, melepasnya, dan mengenakan tasku di punggungnya. Ia berkata. "Ini berat, aku saja yang bawa...." dan seketika kupu-kupu di perutku berkeliaran. Untuk sesaat,aku jadi orang paling bahagia yang menaiki eskalator menuju lantai atas.
-|☆|-
Setelah menonton film, kami makan berdua. Kami mengobrol ngalor-ngidul. Membicarakan ini dan itu. Aku tak henti-hentinya tertawa karena candaannya yang lucu. Aku bahkan lupa dengan cerita film yang tadi kutonton dengannya, bagiku celotehan Daryl lebih menghibur daripada film tadi. Daryl sedang terlihat begitu manis...
Tapi manisnya menghilang saat bill atau kertas tagihan mendarat di atas meja kami. "Kalau aku bayar makanan ini, hutangku lunas, ya..."
"Lho, sejak kapan ada perjanjian seperti ini?" dahiku mengerut, mempertanyakan kenapa Daryl bisa berkata demikian. "Hutang tetap hutang, ini date... bukan sarana bayar hutang, Daryl... Lagipula, dari tadi semuanya aku yang bayar. Kau malah menambah hutang kalau kau hitungan seperti ini..."
Skak mat. Daryl jadi kelu. "A-ah iya juga, ya. Ahahahaha...." dasar bodoh."Raizel?"
"Uhm?" balasku sambil menyeruput sedotan terakhir fruitarian-ku.
"Aku senang sekali hari ini... Kau bagaimana?"
"Aku juga senang, Daryl..."
"Aku tak sabar melanjutkan hari-hariku denganmu... Pacarku..." lalu kedua kakinya yang ada di bawah meja mengait ke kakiku. Membuatku tersipu. "Minggu depan kita date lagi, ya..."
"Tentu... kalau ada uangnya. Giliranmu yang bayar, ya?"
"Tentu...." Daryl memberiku senyuman paling intim dan spesial darinya. Kuakui kedua mataku menyukainya.
-|☆|-
Warning : You gotta read more to see the awesomeness...
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomantikJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017