"Kau sudah dua hari tidak masuk kuliah... Setidaknya makanlah sesuatu. Aku sudah membuatkanmu kudapan kalau tidak mau makanan berat." sabarnya. Fabian menyimpan sepotong kue buatannya dan segelas susu yang bertakhta di atas nampan ke meja sebelah kasur milik Raizel. Berharap Raizel akan melirik, namun tidak. Raizel hanya membungkus diri dengan selimut. Memegangi ponselnya, berharap Daryl akan membalas pesan-pesan singkatnya atau sekedar mengangkat voice notes darinya. Namun itu tak kunjung terjadi.
"Kakak..." Boy naik ke atas kasur menariki selimut dari tubuh Raizel. "Kak Izeeel!"
"Boy, sudah yuk..." Fabian membujuk Boy, membawanya ke luar kamar. "Kita ke TK bibi Han. Berangkaaat..."
"Arrghh... No...!" Boy kembali turun ke lantai, berlari ke Raizel. "Kak Izel... ayo sekolah!"
Fabian hanya menumpu kepalanya saat Boy terus saja memohon pada Raizel. Namun ia tak berlama-lama dalam posisinya, dengan sigap Fabian menggendong Boy yang terus memberontak. Menutup pintu kamar Raizel dengan cepat.
-|❉|-
Sesampainya di kampus, Fabian hanya diam. Meniru apa yang dilakukan Raizel di rumah. Menatapi ponselnya yang tergeletak di sebelah bukunya hingga kelas nyaris berakhir. Beruntung Martin mencubitinya tepat sebelum dosen melempar tatap padanya. Sepuluh menit kemudian kelas berakhir. Untuk pertama kalinya Fabian tidak mendapat apapun setelah dua jam duduk di kelas. Otaknya sama sekali tidak bekerja dengan baik karena terpikirkan Raizel di rumah.
"Raizel kapan masuk? Martin kangen..." kedua mata Martin menekuri lantai tepat di akhir kalimatnya. "Mungkin sudah waktunya kita beritahu Raizel... Kak Fabi tidak boleh diam begini terus. Kasihan Raizel..."
Fabian terdiam memikirkan perkataan Martin, namun enggan menurutinya. "Daryl yang bilang, kita tidak boleh mengatakan apapun..."
"Setidaknya beritahu alasan kepindahan kak Daryl. Mungkin dengan begitu Raizel akan lebih baik. Kalau begini terus dia bisa jatuh sakit, memangnya kakak tidak perduli padanya?"
"Aku jauh lebih perduli padanya daripada kau!" sergahnya.
"Kalau begitu biarkan Martin bicara dengannya. Raizel berhak tahu..."
"Kau tidak tahu apa yang kau lakukan. Kau bisa menghancurkan Raizel dua kali lipat lebih buruk kalau kau seperti itu. Sekarang belum saatnya, kita hanya perlu menghiburnya..."
Martin menunduk dalam, menumpu dahinya di atas meja. "Tapi kita bisa apa, kak." Martin lalu menatapi langit-langit dengan pasrahnya.
Fabian menoleh kasar. "Kau bisa mengambil alih tempatnya Daryl."
Martin menoleh cepat, "Mengambil alih?" keningnya mengerut.
"Iya, kalau aku tidak bisa.... harapan kita hanya dirimu..."
"Kakak gila! Kenapa tidak kakak lakukan sendiri saja? Memangnya mudah menggantikan posisi orang lain?"
Menyalip kalimat. "Kalau aku melakukannya dan Raizel jadi milikku, kau rela? Begitukah?"
"Y-ya Martin tidak rela..." Martin menggelengkan kepala malu-malu. "Kalau begitu biar Martin saja. Martin sadar, Raizel tidak akan pernah suka dengan Martin. Tapi Martin harus mencobanya..." kepalan tangannya membumbung di udara.
"Bersemangatlah..." lesunya. Fabian kembali dengan wajah sedihnya yang merajai.
-|❉|-
Berbekal izin dari pimpinan divisi, Tyara bergegas pulang. Sesampainya di dalam rumah, Tyara langsung mengecek meja makan. Sarapan Raizel tidak tersentuh. Tidak ada jejak suara dari kamar Raizel. Biasanya, Raizel akan menyalakan musik kalau sendirian di rumah. Namun tak terdengar apapun dari lantai dua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017