"Daryl, kumohon. Jangan pergi!" kutarik pakaiannya mundur, jauh-jauh dari pintu kamar. Tapi kekuatanku tak sepadan dengan miliknya. "Kau tidak tahu apa yang kau lakukan. Tolong jangan marah ke Randi. Kau hanya memperkeruh masalah... "
Aku mengikutinya menuju lantai bawah. Langkahnya yang tegas dan cepat itu tak memberi jeda untukku bernafas. Lalu di saat bersamaan pintu utama lantai bawah terbuka. Boy masuk dan berlarian ke dapur sementara Fabian setengah berlari kepadaku. "Ada apa?"
Fabian hanya diam melihatku menarik-narik Daryl. Setelah berkali-kali mengerahkan sisa energiku, barulah Daryl berhenti menepisku. Daryl hanya berdiri dengan kepala tertunduk dan tangan menggantung yang pasrah. Fabian mendekatinya, bertanya baik-baik. "Kalian kenapa?"
Daryl menyeringai. "Kenapa katamu?" ia membuang angin seolah meludah. "Kau tidak tahu apa yang terjadi? Dungu sekali kau ini!"
Fabian menghembuskan nafas pelan. "Jelaskan baik-baik. Ada apa?"
"Kau ingin mendengarnya? Ingin tahu semuanya? Apa pedulimu, Bangsat! Semua ini karena KAU!" Daryl menunjuk batang hidung Fabian dengan telunjuknya.
Boy yang tercengang di ambang pintu dapur menangis. "Hwaaa! Mamaaa! Huwaaa!" terduduk di lantai. Terhentak melihat amukan Daryl.
Dengan tenangnya Fabian berjalan menuju Boy. Menggendong dan mendekapnya dalam sambil mengelus rambutnya. "Tidak apa-apa, Boy... kita naik ke kamar, ya."
Fabian membawa Boy ke kamar, sementara itu Daryl mengusap mukanya dengan tangan. Gemas dengan situasi ini. Tanganku mendarat di pundaknya, ia berbalik padaku. Hanya menatapku balik dengan ekspresi geram yang tak berubah. "Apa perlu kuhajar Fabian sekalian. Ini juga gara-gara dia, kan!"
Aku menggelengkan kepalaku lemah. Kepalaku berat karena rambutku yang basah. Air yang menetes di kaus putih yang kukenakan ini terasa seperti jarum yang menusuk. Aku kedinginan.
"Raizel... Raizel!" Yang kulihat selanjutnya hanya potongan pemandangan saat Daryl dan Fabian menampari pipiku, membangunkan. Rasa-rasanya kepalaku sudah ada di lantai sekarang.
-|☆|-
"Tubuhnya panas sekali." Fabian menempelkan jemarinya di dahi Raizel yang terbaring pulas di kasurnya. "Pinjam mobilmu. Kita bawa dia ke dokter."
Daryl menyengir kuning. "Kalau kau begini perdulinya padanya, seharusnya ini tidak terjadi."
Alis Fabian menukik, dahinya mengerut dalam. "Ini- itu, maksudmu apa, sih! Tidak jelas..."
Daryl tertawa kecil. Menunjukkan mimik wajah jijik. "Mimpi terburukmu terjadi. Randi!"
DEG. Satu nama itu saja cukup jitu membuat Fabian tertegun dan beku. Fabian mengatupkan rahangnya, mengepalkan kedua tangannya keras-keras. Lalu menghembuskan nafas panjang menenangkan dirinya. "Kau serius?"
Daryl mengangguk, sekali tapi mantap dengan wajah datarnya. "Kalau bukan karenamu ini tidak akan terjadi. Dia bisa saja melakukan hal yang lebih parah dari sekedar merebus diri sampai pingsan. Kau juga tahu sendiri bagaimana rapuhnya dia." menoleh ke Raizel.
"Jadi apa yang harus aku lakukan. Kita tidak bisa tinggal diam."
Daryl tertawa. "KAU? Apa yang harus KAU lakukan? Jangan bercanda. Jika sudah seperti ini kau sudah tidak berguna. Raizel sudah rusak sekarang. Apa dia masih punya muka untuk menatapmu? Dari caranya menghindari pandanganmu tadi aku sudah tahu isi pikirannya."
Fabian melepas kacamatanya. Mengurut batang hidungnya. "Katakan saja, apa yang harus kulakukan. Aku yang harus menebusnya. Kau bilang ini salahku, kan?"
"Iya, salahmu. Sekarang, akan kuberitahu apa yang harusnya kau lakukan."
Fabian memberi Daryl seluruh perhatiannya. Menyiapkan telinga dan matanya lekat-lekat. "Katakan."
"Jauhi Raizel. Kalau kau tidak bisa 'bersamanya', biar aku saja."
Giliran Fabian yang tertawa. "Sejak kapan kau gay. Kalau hanya pura-pura menyukainya apa bedanya denganku..."
Menyela. "Pura-pura katamu?" Daryl menohok tak percaya.
"Aku benar-benar menyukai Raizel. Bukan masalah buatmu, kan? Kau juga tidak bisa melarangku. Kau bukan siapa-siapanya." tegas, Daryl.
Menyela balik. "Tapi aku sahabatnya."
Melawan. "Dia tidak butuh sahabat. Dia butuh pacar. Dan KAU!" menunjuk dahi Fabian. "bukan pacarnya. AKU pacarnya. Jauhi Raizel!"
"Oh, jadi begitu." Fabian mengangguk pelan, sambil mengalihkan pandangan."Baiklah... aku akan menyerahkan Raizel padamu. Tapi kalau kau mengotorinya juga. Aku akan mengambilnya darimu."
"Jizz, urus saja dirimu sendiri. Apa yang ia lakukan denganku bukan lagi urusanmu. Kau juga takkan pernah menyentuhnya, kan. Untuk apa kau protes..." kecam, Daryl.
Nafas Fabian berburu kencang. Ia berkali-kali berpindah ke mode marah dan sabar, bergantian. Merengkuh dirinya, melindungi pikirannya dari emosinya sendiri.
"Aku yang akan membawanya ke dokter. Kau di rumah saja dengan Boy."
Daryl bergegas keluar menyiapkan mobilnya. Sementara Fabian hanya duduk tunduk di sudut kasur Raizel. Terhantam emosinya sendiri.
-|☆|-
Warning : You gotta read more to see the awesomeness...
Send me comments, maybe?
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomansaJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017