Pt.2| Mini Chapter 24 : Divorcee

1K 129 287
                                    

Pagi ini aku terbangun dengan Fabian di sampingku. Ia seperti lebah yang  merekatkan dirinya pada bunga yang tertiup angin. Menghinggapiku erat seolah badai akan merenggutku darinya. Lalu kusadari jika ada senyum simpul tipis di tidurnya. Wajahnya damai dan bahagia, seiring aroma tubuhnya yang menyeruak dan napasnya yang halus menghembus.

Aku mengamatinya, pipinya yang menempel di bantal, hidung mancungnya yang simetris, bibir manisnya yang seolah menunjuk padaku. Pori-pori di wajahnya, semua titik-titik kecil di wajahnya. Kekurangan darinya yang membuatnya terlihat begitu 'manusia'. Kedua matanya terbuka saat menyadari tatapanku. 

"Sudah tidak hujan..." singkatku, memberi sinyal agar ia melepasku.

"Bagiku masih..." dengan senyumannya ia mendekapku lebih dalam dari sebelumnya. Menempelkan dahinya di dahiku. Lalu Fabian menutup lagi matanya, menikmati sepuluh menit terakhirnya, sebelum akhirnya ponselku berdering dan suara Daryl mengayun ke telingaku seperti genderang. Tenggelam dalam keserakahannya atasku, tertimpa cemburu.

Sementara aku duduk, bersandar di sandaran kasur, bicara dengan Daryl... Fabian memegangi tanganku. Matanya terus berharap agar aku kembali membaringkan diriku. Tapi aku mengangkat tangannya dari tanganku. Menggenggamnya, menciumnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Memberi kesempatan untuk Daryl agar bisa benar-benar bicara berdua saja denganku. Lalu Fabian terlihat kecewa dan nyaris merengut. Dia harus menunggu hujan lainnya turun agar bisa mendekapku seperti semalam. Bukan salahku...

Setelah aku selesai menelepon Daryl, aku berniat kembali ke atas kasur untuk menonton youtube di ponselku. Tapi saat aku membuka pintu kamar mandi, Fabian berdiri tepat di depan pintu. Kedua tangannya mengepal, khasnya jika sedang menahan emosi. Ia menatapiku nanar. "Raizel... untuk semalam... terimakasih..."

"Sama-sama... Kau sudah baikkan?"

Kepalan tangan itu luruh. "Sudah baikkan, hanya saja... a-aku sangat ingin menc-... ah... sudahlah. Oh, iya... kue ulang tahunmu masih di kulkas. Kau belum memakannya. Kau pergilah ke dapur, aku akan menyusulmu setelah merapikan diri."

"Baiklah, Fab..." entah mengapa aku jadi canggung saat berjalan melewatinya. Ada sensasi dan desir aneh saat aku meninggalkannya berdiri dengan kaku di sana.

-|❂|-

Tadinya banyak pertanyaan yang ingin kuutarakan saat melihat mama, tentang pukul berapa ia pulang semalam, tentang apa yang dilakukannya hingga ia pulang begitu terlambat, dan mengapa ia terlihat begitu kelelahan sekarang. Kekuatan telepati antar ibu dan anak antara kami bekerja dengan baik, tanpa perlu aku membuka mulut mama menjelaskan semuanya padaku.

Semalam ia sampai rumah tepat tengah malam, ia terlambat pulang karena lembur hingga pukul 10. Sempat terjebak di jalan selama satu jam karena mobilnya mogok. Satu jam lainnya ia habiskan untuk berkendara dari kantor ke rumah. Itulah mengapa kantung matanya terlihat menyendul sekarang. Lalu tentang kueku, mama memakan tiga potongan sekaligus. Menyisakanku, Fabian dan Boy setengah dari seluruhnya. Pikir mama, Fabian membuat dua loyang dan kue yang semalam dimakannya adalah jatahnya. Padahal aku, Fabian dan Boy bahkan belum menyentuh kue itu sama sekali. Setidaknya mama meminta maaf karena melewatkan ulang tahunku yang ke-18 kemarin. "Kamu sudah membuat keputusan?"

"Keputusan apa, ma?"

"Mama lihat semalam kamu masih tidur berdua dengan Fabian. Siapa sebenarnya pacarmu, Fabian atau Daryl?"

"Aku mau keduanya tetap seperti sekarang, aku tidak mau membatasi diriku dengan salah satunya. Lagipula kenapa hal ini begitu penting untuk mama? Ini kan urusanku? Sudah dua kali lho mama menanyakan ini. Mama tidak bosan?" aku kembali menyuapi diriku dengan kue buatan Fabian.

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang