Pt.1| Mini Chapter 1 - Uninvited Guest

14.6K 779 64
                                    

   "Boy William, adikku sayang. Kau apakan ponselku sampai jadi begini?" Raizel mengacungkan ponselnya yang basah kuyup, menebahi dahinya sambil menghela napas panjang. Berusaha tak menunjukkan wajah kesalnya pada adik semata wayangnya.

   "Maaf..." Boy mengerut di lantai, kedua bola matanya tak berani menatap Raizel sedetikpun.

   "Baiklah, kakak tidak akan marah. Kakak bisa beli yang baru, kok. Kau tahu uang siapa yang akan kakak pakai?" remaja itu berkacak pinggang. "Uangmu! Mulai hari ini tidak ada lagi taman bermain, makan di luar atau permen untukmu. Kau ingat itu!" gertaknya.

   Boy merengut, mengerucutkan bibir mungilnya hingga tak lama kemudian tangisnya pecah memenuhi seisi kamar, "Jangaaan! Boy mau jalan-jalan... Mau permen... Kak Izel ja-hat! Hwaaaa!" kedua mata bulat besar itu menatap geram pada Raizel. Tangisan yang menyakitkan telinga itu makin membuat Raizel panas hati. Iapun memutuskan untuk berjalan keluar. Sengaja meninggalkan sang adik demi meredakan amarahnya yang makin membuncah.

   Langkah kakinya sigap menghampiri pintu, namun sesaat kemudian jemarinya yang tengah mencengkeram pegangan pintu itu tersentak saat bel tiba-tiba berbunyi. Raizel membukanya cepat, dan spontan melenguh jemu ketika sesosok lelaki berkaus kumal muncul dari balik daun pintu. Lelaki dengan wajah berminyak, berambut cepak coklat itu menyerobot masuk, berjalan angkuh ke ruang tamu lalu melemparkan tubuhnya begitu saja ke sofa.

   Bola mata Raizel terfokus pada si tamu, bibirnya mengerising kesal. Sengaja memperlihatkan wajah jijiknya pada si tamu yang tak tahu diri itu. Lalu, Bukk! Kakinya mendarat di paha orang yang tidak sopan itu.

   "Ouch! Sakit woy! Kenapa kau menendangku? Kau ini gila atau apa, sih? Sudah membuat adikmu menangis kau malah mengamuk padaku. Kau pikir aku ini samsak, apa?" cerocosnya. "God, adikmu berisik sekali. Kau bisa menyuruhnya diam atau tidak? Kalau begini terus aku bisa tuli..."

   Mengacungkan kepalan tangan di udara, "Aish! Kau pikir kau siapa, Daryl? Majikanku? Ini bahkan bukan rumahmu dan kau bisa-bisanya memerintahku." menginjaki paha Daryl. "Cepat kembali ke rumahmu. Aku sedang tidak mood melayani kebodohanmu. Cepat keluar!"

   Beringsut dari sofa. "Jiz... dasar!" Daryl berjalan malas ke tengah ruang tamu, mengabaikan perintah Raizel. "Sudahlah, hentikan tangisanmu, Boy! Sekarang kita main keluar, ya!" rayunya, sok imut.

   "Gak mau! Hwaaa!" tangisan Boy makin menjadi. Air mata anak itu bahkan mengucur lebih deras dari sebelumnya. Kedua kaki kecilnya kini menendangi lantai keras-keras. Aksi Daryl sama sekali tak memperbaiki keadaan.

   "Haduh, Aku sial sekali hari ini. Aku bahkan tidak bisa tenang berada di rumahku sendiri. Dan sekarang, tempat pelarianku bahkan lebih buruk. Aaarrgghh!!!" lelaki pemalas itu roboh. Terlentang di lantai tanpa perduli. Tangan kanannya sibuk menjengguti rambutnya sendiri sementara kedua matanya menekuri langit-langit dengan lesu. Tak lama kedua bola mata itu menyoroti Raizel yang kini berdiri di ambang pintu yang terbuka.

   "Kau mau keluar? Di saat adikmu sedang seperti ini? Yang benar saja! Kakak seperti apa yang tega meninggalkan adiknya menangis sendirian?" sambung Daryl lagi.

   Mendengar hal itu, Raizel terdiam. Entah mengapa kedatangan tetangga usil yang satu itu mampu membuat api di matanya meredup. Mulut Raizel mendesis meminta pengampunan. Lagi-lagi menghembuskan napas panjang. Bedanya, kali ini ia melakukannya karena merasa bersalah atas tingkahnya tadi. Refleks, ia segera menutup pintu dan kembali ke dalam. Mendekati Boy, memeluk lalu menggendongnya tanpa bicara sepatah katapun.

    Bola mata anak itu sontak menyoroti wajah Raizel. Tangisnya yang tadi sesunggukan perlahan surut. Sepasang tangan kecil itu memeluki tubuh kakaknya erat-erat. "B-boy... m-minta... ma-af..."

   "Boy janji ya tidak akan begitu lagi,kan." balas Raizel dingin.

   "Uh-uh... Jan-ji." Boy mengangguk, menyusuti bulir air matanya dengan tangan. Raizel tersenyum tipis, mendekapi sang adik lalu melepasnya pelan-pelan. "B-boy mau ke ta-taman... M-mau main." rengeknya manja.

   "Daryl! Tolong bawa adikku ke taman!" lemparnya. Sengaja melepas tanggung jawab. "Sekalian tolong beri makan!"

   Daryl bangkit. Dahinya mengerut dalam. Bibirnya yang membulat itu lebih dari siap untuk sekedar misuh-misuh.

   "Eiitt!!! Ingat! Kau masih punya hutang padaku. Kalau kau melakukan ini kuanggap 10% hutangmu lunas hari ini. Bagaimana?"

   Daryl menelan ludah. Bibirnya terkatup rapat. "Uhm, 5% saja dan kau ikut denganku ke taman. Aku yang menggendong dan menemaninya main, kau yang memberinya makan. Bagaimana?"

   "Lalu untuk apa aku menyuruhmu? Huh, dasar tidak berguna."

   "0%. Aku akan pergi ke toko kelontong sementara kau sendirian ke taman! Setuju?!" gertak Daryl sambil berlalu dari hadapan Raizel, beranjak keluar.

   "Hei-hei! Baiklah. 10% dan kau ikut denganku ke taman dan aku yang mengurusi adikku. Tak apa begitu, tapi setelahnya kau harus membantuku mencuci piring. Deal?"

   Daryl berhenti tepat di depan pintu. "Deal!"

   "Kalau begitu tolong kau bawa makanan yang sudah kusiapkan di meja dapur. Sekalian celemek makan dan tisu basahnya. Oh, jangan lupa botol minumnya!" oceh Raizel, angkuh.

    "Ck!" Daryl mendecak lesu, "Apapun perintahmu, Princess Aurora!" celetuknya lagi.

-|☆|-

Warning : You gotta read more to see the awesomeness...

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang