Hatiku bahkan masih berdebaran sekarang. Tadi pagi itu... Hwaaaa! Rasanya seperti terbang ke surga. Ini pertama kalinya ia membolehkanku memeluknya dari belakang.
Jujur saja, aku sudah membayangkan ini sejak lama. Tiap kali ia memasak di dapurku atau kapanpun ia membelakangiku, aku selalu gemas ingin memeluknya. Bahu lebar dan tegap itu... Hwaaa.... Segalanya.
"Woy! Kau melamun lagi." Martin menebah kepalaku. Merusak momen, membuat kedua ujung bibirku yang tadi tertarik awan kembali turun ke tempatnya.
"Adegan ini, perlu revisi." Martin menunjuk alinea ke-empat dari adegan ke-5 dalam scene di mana ia harus menarik tanganku, mencegahku pergi. "Terlalu keju..."
Aku menyengir, tertawa kecil. Menyambut candaannya. "Cheesy, maksudmu?" tanpa sadar, tanganku menumpu wajahku yang tersenyum. Tatapanku yang tercipta karena momen bersama Fabian tadi pagi muncrat ke Martin. Dan bisa kubilang, dia salah tangkap. Karena dari pandanganku dia tersipu malu sambil membalas senyumku. Sadar dengan hal itu, aku kembali duduk tegak, memasang wajah serius dan memusatkan kedua mataku ke naskah.
"D-dan. Kita ada scene ciuman di adegan ke-12." Martin menatapku rikuh, sopan tapi bisa kulihat jika kedua matanya itu nyaris tersenyum. "Kita harus 'berlatih'..."
"Uhuk..." aku terbatuk. Suaraku menggema ke seantero ruangan teater. "Ehem... kita bahkan belum sampai adegan 6." Aku menggaruk kepalaku tak gatal.
"Uhm... iya, sih." sekarang malah Martin yang menunduk malu. "Chemistry-mu denganku masih kurang. Kita harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama..."
Menyela. "Latihan seperti ini saja sudah cukup. Ini sama-sama menghabiskan waktu, kan?" aku tersenyum simpul, menyampaikan ideku yang mentah namun paling benar untuk kukatakan saat ini.
Maksudku... Martin? Berjalan denganku? Di luar kegiatan ekskul Drama? Yang benar saja... Aku akan jadi sasaran empuk para homophobic.
Ini bukan masalah tampan atau tidaknya Martin. Dia itu sempurna, lho. Seorang turunan Jerman yang sikapnya sangat Indonesia. Kulitnya putih dan bersih dari bercak. Tubuhnya tidak atletis, tapi tinggi dan proporsional. Tidak perlu kujelaskan betapa tampannya Martin. Hanya saja... well, jaman sekarang itu laki-laki super tampan selalu dituduh gay. Entah karena para perempuan yang minder duluan sebelum mendekati Martin atau berkat rasa iri laki-laki di luaran sana yang merasa kalah saing dengan Martin. Intinya, orientasi seksual Martin sangat dipertanyakan di kampus ini. Apalagi dia juga sama sepertiku... tidak pernah punya cewek seumur hidupnya.
Pintu besar teater terbuka. Rambut rapi ala kantoran Fabian menyembul dihiasi cahaya dari luar. Fabian langsung berjalan menuju spot-ku di sudut panggung teater. Ia bersalaman dengan Martin. Menyapanya ramah, khas dirinya pada hampir semua orang. "Hi, bro! latihannya lancar?"
"Yup..." kata Martin, ringan.
Fabian duduk di sebelahku, mengeluarkan isi tasnya. Makan siangku yang dibelikannya itu diletakkannya di lantai panggung. "Martin, mau?" ia menawarkan snack di tangannya ke Martin. Martin hanya menggelengkan kepala dengan sopan. Toh memang Fabian lebih tua dua tahun dariku dan lebih tua 3 tahun dari Martin.
"Aku pamit duluan, ada kelas..." kata Martin, malu-malu. Lebih banyak melirik padaku. Menunggu reaksiku.
"Uhm, okay.... See u..." rikuhku dengan mulut nyaris penuh dengan roti isi. Lalu anak tampan itu menghilang dari jangkauanku. Hanya ada aku dan Fabian disini. Lagi-lagi aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi tadi pagi. Aku bahkan tak bisa menatap Fabian langsung di matanya tanpa kehadiran orang ketiga yang menengahi kami. Saking groginya.
"Kau masih mau nonton dengan Daryl?" Fabian bertanya out of nowhere.
"Aku... tidak terlalu ingin. Masalahnya aku sudah berjanji pada Boy. Dia sudah senang sekali akan diajak nonton. Dia bahkan semangat sekali menyanyikan theme song film kesukaannya itu sejak pagi." renungku.
Fabian menyimpan lidahnya di antara dua bibirnya, memikirkan sesuatu. "Uhm, kalau begitu. Bagaimana kalau kau menonton denganku."
"Uhuh..." semangatku ala Boy. Mengangguk cepat jenaka. Entah ini cocok dengan wajahku atau tidak. Aku melakukannya dalam mode otomatis.
"Setelah jam terakhir, kita jemput adikmu, ya..."
"Sippo..." melihat Fabian tersenyum lebar padaku membuatku makin ingin memeluknya lagi. Laki-laki yang selalu terlihat keren di depanku ini memang yang terbaik.
"Mamamu juga sepertinya ikut."
Jleb. Di situ kedua alisku bertautan, heran. "Kenapa? Tidak biasanya. Apa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya?" iya, mama selalu mengajakku jalan-jalan sebelum menyampaikan sesuatu yang serius dan berat. "Ini bukan tentang kepindahanmu ke Jakarta kan, Fab? "
Fabian mengedikkan bahu. "Entahlah... Kau akan tahu sendiri nanti."
-|☆|-
Warning : You gotta read more to see the awesomeness...
Also... click the vote button...
and send me comments...
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017