Lobby hotel ini tidak sepi, tidak juga ramai. Aku dan Fabian sengaja duduk di sofa paling ujung, dekat pintu toilet, tersembunyikan pohon-pohon kecil dan tanaman sekitaran meja yang menghiasi lobby hotel emas-coklat mewah ini. Sudah sejak pukul 7 tadi kami menunggu, mama tidak juga muncul seperti dugaan Vanessa. Aku jadi ragu dengan apa yang aku dan Fabian lakukan sekarang. Haruskah kami terus menunggu atau pulang saja dengan tangan kosong.
Lalu satu jam kemudian perkataanku terbukti. Mama tidak muncul di manapun. Rasanya tidak mungkin mama berjanji dengan seseorang di hotel seperti ini. Kalaupun pergi ke hotel, mama biasanya diperlukan untuk menghadiri rapat di aula yang telah disewa perusahaan. Bukan untuk urusan pribadi seperti ini, lagipula mama selalu khawatir dengan Boy. Jika hotel tempat menginapnya masih di kota ini, mama pasti membawa Boy menginap.
Alhasil, aku dan Fabian pulang dengan tangan kosong. Sesekali pikiranku menyalahkan diriku yang ingin membuktikan ucapannya Kevin. Bukannya aku tidak percaya dengan mama, hanya saja aku belum bisa menghina balik Kevin kalau perkataannya belum benar-benar kunyatakan tidak terbukti. Ini masalah harga diri. Kevin boleh menghina dan merendahkanku sesukanya, tapi soal mama... jangan harap aku akan membiarkannya begitu saja. Aku benci kalau ada orang yang menghina mama...
"Sudah pukul 8.30... masih mau menunggu?" tanya Fabian. Suara lembutnya mengalun indah ke telingaku yang lengang karena tak bicara padanya sejak 45 menit yang lalu.
Menggelengkan kepala. "Kita pulang..." tulusku, mengakui kalau hari ini bukan hari keberuntunganku. Membuatku berpikir, jika saja Minjung mau 'membaca' mama... aku dan Fabian tidak perlu susah payah seperti ini. Sayangnya, Minjung tutup mulut. Ia bahkan berhenti bicara padaku. Sekuat apapun aku membujuk agar ia mengatakan apa yang ada di pikirannya, ia tidak juga mau angkat bicara. Membuatku frustasi saja. Menyebalkan.
Belum setengah jalan menuju rumah, aku dikejutkan dengan telepon dari Vanessa. Ia menangis terisak, sesunggukkan. 'Hal besar' yang dimaksud Minjung padanya terjadi. Ibunya Vanessa meninggal dunia, ayahnya pergi entah kemana. Vanessa hanya terus menyebut nama Minjung, menyalahkan perkataan Minjung yang dianggapnya sembrono dan kurang ajar. Terus dan terus begitu selama sepuluh menit pertama di telepon.
Lalu Vanessa bilang mamaku ada dengannya. ini menjelaskan kemungkinan mama tidak datang ke hotel, karena kata Vanessa... orang yang diberitahu lebih dulu tentang kematian ibunya adalah mama. Mama sendiri yang tiba-tiba menjemput Vanessa di rumahnya dan membawanya ke rumah sakit. Vanessa seharusnya bilang padaku, agar aku tidak menunggu di hotel seperti orang bodoh dan telat menyusulnya ke rumah sakit seperti sekarang. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Vanessa cukup terguncang dengan berita ini. Tidak mungkin kalau ia terpikirkan tentangku dan Fabian. Kalaupun iya, mengurusi emosinya saja ia kewalahan. Aku memakluminya.
Sesampainya di rumah sakit, aku dan Fabian menemui Vanessa yang duduk tak berdaya di lorong rumah sakit. Mama merangkulnya, menepuk pundaknya, menenangkannya sebisanya. Tapi Vanessa tidak merespon. Jangankan berkata-kata, berkedip pun tidak. Air matanya terus mengalir meski wajahnya datar. Hanya saat aku berjongkok di depannya, meminta perhatiannya... ia menghambur padaku. Memelukku hingga aku terduduk di lantai karena terdorong tubuhnya.
"Maaf... aku akan menjelaskan semuanya...." ayunnya, terisak. Lalu kalimatnya tergantikan hirupan udara di hidung dan mulutnya yang menyayat perasaan. Aku bisa merasakan betapa hancurnya hati Vanessa sekarang.
Keluarga ayahnya Vanessa datang beserta saudara tirinya satu jam kemudian. Aku melihat mereka. Wajah mereka satu-persatu saat mereka bergegas menuju kamar tempat jasad ibunya Vanessa berada. Aku memang tidak memerhatikan dengan jelas, namun aku berani bersumpah kalau saudara tiri Vanessa tidak terlihat sedih. Mereka berakting. Pura-pura. Aku menyadarinya saat Vanessa memberi mereka tatapan menyelidik. Menghakimi mereka sama seperti aku menghakimi mereka. Orang-orang itu terkecuali ayahnya, adalah penipu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
عاطفيةJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017