Pt.1| Mini Chapter 19 : From Today

1.7K 236 62
                                    

Hari Sabtu. Tidak ada kelas hari ini. Mama sedang sibuk mengetik laporannya di ruang tamu sementara Boy berlarian kesana-kemari sesukanya. Aku? Pagi ini aku sedang mencuci piring bekas sarapan di dapur sambil mendengar lagu jadul yang mama putar dari ruang tamu.

Musik : "CAN LIIIIVE!"

Daryl. "Dubidubidudachuuu.... Ken liiii..."

Boy. "Ken li animooom...."

Keduanya bersahutan dengan ekspresi konyol.  Pura-pura memegang mic betulan,  menyanyi serampangan. Mama yang melihat mereka dari seberang sana tertawa melihat keributan dua makhluk ini di lawang pintu dapur.

Anggukan kepala mama sudah cukup mengatakan kalau mama senang dengan keberadaan Daryl di rumah. Apalagi, ia memang berbeda dengan Fabian yang senyap.

Maksudku... Fabian tidak pernah bercanda se-expressive Daryl. Dia tipe orang yang akan memeluk dan mendengarkanku dengan seksama  jika aku punya keluhan dan hanya bercanda singkat, tanpa gestur. Kalau Daryl? Aku jarang sekali bisa bicara serius lama-lama dengannya. Pembicaraan kami dua jam suntuk semalam lalu adalah keajaiban yang jarang terjadi.

Well,  Daryl bercerita padaku tentang semuanya. Tentang persahabatannya dengan Fabian dan rencana mereka untuk melindungiku dari Randi. Dia membeberkan semuanya.

Daryl bilang Randi hanya menggunakanku. Katanya, sebelumku sudah ada beberapa laki-laki yang 'dimanfaatkannya'. Ada yang bernasib sepertiku, ada yang betulan jadi liar. Ada juga yang nyaris melaporkannya pada istrinya.

Aku baru ngeh jika suntuk dan depresinya Randi saat aku mengeluh tentang Martin itu dikarenakan korban terakhirnya itu. Kalau aku jadi dia, aku tidak mungkin setenang itu. Apalagi ini soal pernikahan. Sebuah hal yang sakral seperti itu bukanlah hal yang patut dipermainkan.

Jujur, meski Daryl memaksaku menuntutnya,  aku malas menuntut balas perbuatan Randi padaku. Korbannya terlalu banyak dan memang salahku yang menyerahkan diriku padanya. Daryl bersikeras akan menghajar orang itu,  tapi aku melarang. Bagaimanapun akan buruk jika ini sampai ke telinga orang luar. Pertengkaran kami bisa saja disorot kampus.

Meski berat, aku bersyukur Daryl menceritakan semuanya. Setidaknya aku sadar jika apa yang dilakukan Randi padaku bukan agar aku bisa menentukan perasaanku atau bullshit lainnya.  Randi hanya sedang menipuku.

"Ken LIIII!" Daryl dan Boy kembali berdendang.

"Berisik!" aku menggeplak kepalanya. Dia buru-buru menebah rambutnya dari busa. Lalu tersenyum padaku memperlihatkan gigi rapinya seperti anak kecil yang kegirangan. Yang membuatku makin geli adalah saat Boy juga ikut-ikutan berdiri ala satpam sambil tersenyum sama dengan Daryl padaku. Rupanya mereka sudah membuat aliansi pagi ini. Dasar...

-|☆|-


"Terimakasih... kau sudah mendengarkanku semalam..."

"Iya, sama-sama. Kau juga sering dengar curhatanku. Wajar saling membantu. Oh iya... semalam Fabian melihat kita."

"Melihat kita?"

"Iya, waktu kau menangis dan kupeluk. Dia seperti mau masuk, tapi waktu melihatku... dia kabur ke ruang TV."

Sebuah lampu pijar menyala di atas kepalaku. "Jadi itu sebabnya.... Pantas saja dia tidak bicara padaku pagi ini..."

"Dan, aku mengatakan sesuatu... Saat kau pingsan..." Daryl meletakkan bantal, menepuki tangannya menandakan tugasnya membantuku merapikan kamar Boy sudah selesai. "Aku bilang akan merebutmu."

"Maksudmu?" heranku.

"Iya, karena dia tidak juga bertindak, makanya aku akan jadi pacarmu." Daryl menyimpan kedua tangannya di pundakku. "Kita awali dari pura-pura... Semoga kau tidak keberatan..."

Mulutku menganga. Tanganku menggantung di udara. Jedaku berganti saat ia menaikkan alisnya seolah bilang 'apa yang salah?'.

"Daryl, kau sedang waras, kan? Sejak kapan kau seperti ini? Bukannya kau suka cewek rambut warna-warni itu? Kau bercanda, kan?"

Daryl menggelengkan kepalanya pelan. "Aku bersungguh-sungguh."

Jujur, aku butuh beberapa saat untuk mencerna omongannya. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lagipula aku sedang merasa rendah sekarang. Aku sama sekali tidak bernafsu untuk sebuah hubungan. Pikirku, ini bukan waktu yang tepat.

"Oy, Hito Caesar!" Fabian teriak datar dari tangga, Daryl melepas dua tangannya, membalas Fabian dengan semangat.

"Oy, Jefri Nichol!"

Lalu keduanya mengobrol seperti tak pernah terjadi apapun. Maksudku, Fabian tidak bicara denganku karena aku dipeluk Daryl semalam. Bukankah harusnya secara otomatis Fabian juga kesal dengan Daryl? Anehnya mereka tidak saling memunggungi.

"Kau mau keluar dengan Raizel?" Kata Fabian sambil membetulkan posisi kacamatanya.

"Iya, mau date berdua... Tidak iri?"

"Tidak... bawalah sesukamu. Berhati-hatilah..."

Mereka bertukar senyum, tapi satu hal yang tidak terjadi. Fabian tidak menatapku atau menganggapku ada. Ia mengatakan maksudnya padaku melalui Daryl. 

"Jangan lupa pakai jaket di dalam bioskop. Siapa tahu kalian nonton. Raizel masih demam..." sambung Fabian.

"Tentu..." Daryl melempar senyum tampannya padaku. Senyum yang menyatakan kalau ia seseorang spesialku sekarang. Meski menurutku tidak. Sementara itu aku malah diam menatapi Fabian. Menunggunya melirikku, namun ia enggan.

"Kalau begitu aku mau belajar di lantai bawah" pamit Fabian.

"Yoa, sippo, bro! Yang rajin, ya..."

Dan... hatiku remuk karena didiamkan Fabian.

-|☆|-

Daryl mencuci mukanya. Menyisir rambutnya, memintaku menyemprotnya dengan parfum yang kusukai. Aku senang-senang saja, toh ini sebuah kemajuan jika Daryl mau tampil rapi. Dan kau tahu, begitu aku melihat final product-nya, aku tergilas. Daryl membuatku pangling.

Maksudku, tadi pagi saja sudah kelihatan bagus, hanya saja sekarang sudah terlihat lengkap. Rambutnya yang mulai panjang berbaris indah di dahi yang biasanya bebas dari rambut itu. Kulitnya bersih dan sempurna. Tubuhnya terlihat necis dibalut kaus putih polos dan jeans birunya, lengkap dengan jaket bomber dan kalung etnis di lehernya. Bisa kuakui kalau Daryl juga punya pesonanya sendiri.

"Kau suka?"

Aku berpura membuang mukaku darinya. "Biasa saja..."

"Hei, ayolaah. Kau suka, kan?" ia menaik-naikkan kedua alisnya, genit.

"Tatap mataku dan katakan isi pikiranmu... Menurutmu aku bagaimana?"

Aku menatap tepat di manik matanya. Ia menatapku lekat-lekat. "K-kau... tampan..."

"Yes !" ia mengepalkan tangan di udara, bak orang yang baru menang lotere. "Mana hadiahku..."

Aku mengerutkan keningku saat ia melebarkan tangannya. "Hadiah apa?"

"ini..." CUP. Daryl mengecup keningku. Aku didekapnya, rambutku disisirnya dengan jemarinya yang ada di tengkuk leherku. "Mulai hari ini, kau pacarku..."

-|☆|-

Warning : You gotta read more to see the awesomeness...


Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang