Seketika saat bel berbunyi dan pintu utama terbuka, Raizel tahu kedamaiannya akan berakhir. Seisi rumah seperti akan meledak saat Tyara meneriaki mantan suaminya. Setengah berlari, menghentakkan kaki menuju tempat mantan suaminya duduk. Terus meneriakinya hingga jengah dan balas berteriak.
Raizel yang tengah berada di lantai atas dengan Fabian, berlari cepat ke lantai bawah. Menyaksikan kericuhan yang disebabkan dua orang dewasa di ruang tamu. Isi tas Tyara berhamburan, wajahnya sembab, air matanya berjatuhan dengan deras. Ayahnya berusaha membuat Tyara meredakan emosi, namun balasan teriakan dan nada bicaranya yang seperti itu pada Tyara sama sekali tak mempan. Tyara terus mengayunkan tas tangannya pada wajah pria itu hingga keduanya beradu tangan. Lalu Boy yang terguncang dengan keadaan itu menangis, terduduk di lantai, tak berdaya. Menjadi semburat di antara luapan amarah yang mendera.
"CUKUP!" teriak Raizel. "HENTIKAN!" keduanya membeku saat Raizel memekik. Nafas mereka terengah karena emosi. Ayahnya menarik Tyara, menggusurnya agar masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Raizel yang nyaris ikut meledak karena emosi. Lalu pintu ditutup, dikunci, tapi tetap saja... teriakan mereka terdengar lagi dari dalam. Menyisakan setengah suara mereka untuk didengar Raizel dan Boy dari luar.
Raizel melangkah gontai menuju Boy yang terus menyusuti air matanya dengan lengan bajunya. Raizel memeluknya, menggendongnya ke lantai atas. "Sudah Boy... sudah... jangan menangis lagi... Mereka akan baik-baik saja..." bisiknya ke telinga Boy. Berbicara pada Boy sekaligus dirinya.
Fabian hanya membeku di dekat tangga. Di lantai atas. Tidak tahu harus bertindak seperti apa. Bagaimanapun, ia sadar jika ia hanyalah penumpang dalam kapal rumah tangga ini. Tak perduli sedekat apapun ia dengan Raizel, Boy atau Tyara, ia tak berhak ikut campur dalam urusan keluarga mereka. "Kau... baik-baik saja?"
Raizel hanya mengangguk, lalu membawa Boy yang masih sesenggukkan ke dalam kamarnya. "Carikan pakaian ganti untuk Boy... Setelah tangisnya reda, kita harus segera keluar dari rumah ini. Boy tidak bisa diam disini kalau mereka masih bertengkar."
"Baiklah..." Fabian yang berdiri di depan pintu kamar Raizel yang terbuka langsung memutar badan menuju kamar Boy. Mencari pakaian ganti seperti yang diminta Raizel.
"Boy harus kuat, jangan menangis... Ini pasti berlalu..." Raizel kembali menenangkan Boy. Hendak menurunkannya dari pelukannya, namun kedua tangan Boy memeluknya lebih erat. Anak itu menenggelamkan tangisnya di pundak Raizel. Terus terisak hingga hati Raizel ikut tergores dan menitikan air mata karena mendengar tangisnya yang tulus.
"Ka-kak..." kata Boy. Memasrahkan dirinya, bergantung sepenuhnya pada Raizel.
"Sudahlah..." Raizel menepuki punggung Boy pelan-pelan. Berusaha menenangkannya. Di saat tangis Boy mulai reda, justru tangisnya yang mulai menjadi. Bayangan masa lalunya mencuat di benaknya. Indah masa kecilnya, bagaimana harmonisnya keluarga kecil miliknya itu bertahun-tahun silam, senyuman ayahnya yang selalu untuknya dan Boy. Itu menghancurkan hatinya.
Fabian yang sudah kembali dari kamar lain langsung memeluk Raizel dan Boy. Melingkupi keduanya dalam tubuhnya. Melindungi mereka dalam bahtera kecil yang diciptakannya.
-|❂|-
(Raizel)
Sore ini matahari masih bersinar cerah. Udara tidak dingin dan tidak juga panas. Bagiku, pukul 4 sore seperti ini selalu jadi waktu yang terbaik untuk menikmati mentari sore. Apalagi angin bertiupan kesana kemari, membuat nyaman dudukku di kursi taman kompleks yang dinaungi pepohonan.
Aku sengaja meminta Fabian tidak ikut duduk denganku, menyuruhnya agar sepenuhnya bermain dengan Boy. Aku sedang ingin sendiri. Ingin tenggelam dalam isi pikiranku, menyelesaikan semua kekacauan ini di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted (BL Novel)
RomanceJika kau menginginkannya, apa kau mau berjuang untuknya? -Raizel- Novel Debut : 20 Agustus 2017