Pt.1| Mini Chapter 14 : Rain Drops

1.8K 267 64
                                    

Catatan Hati Seorang Fabian :

Hari ke-1 : Rabu, 08 Februari 2017

Raizel marah dan tidak membantuku pindahan ke rumahnya.

Hari ke-2 : Kamis, 09 Februari 2017

Raizel tidak mau pulang denganku.

Hari ke-3 : Jum'at, 10 Februari 2017

Raizel pergi ke taman dengan Boy dan Daryl

Hari ke-4 : Sabtu, 11 Februari 2017

Sampai hari ini dia tidak bicara padaku

Hari ke-5 : Minggu, 12 Februari 2017

Dia dan Daryl berduaan di kamar. Pintunya dikunci dari dalam.

Hari ke-6 : Senin, 13 Februari 2017

Aku harus melakukan sesuatu. Uang jajanku yang dititip kakak tidak akan turun kalau Raizel tidak memberinya. Aku tidak tahu kode pin ATM miliknya. Padahal tergeletak di meja belajarnya. Apa pinnya tanggal ulang tahunku?

"Raizel..." aku mengetuk pintu kamarnya yang terbuka. Raizel di situ, merias wajahnya. Pemandangan yang akhir-akhir ini makin waras di benakku. "Kau masih marah?"

"..." dia hanya mematut kaca, aktingnya yang sengaja 'membuangku' ini sukses membuat kakiku terbang ke dekatnya.

"Kau mau aku tidur denganmu? Di kasur? Atau apapun... Aku akan lakukan apapun." pengemis ini sudah tidak punya malu lagi. Bagaimanapun dia harus bicara lagi padaku.

Raizel menoleh. "Mau apa?!" ganasnya. Terus saja memutar kuas di pipinya.

"Aku sudah mencuci kuas-kuasmu, breakfast on bed, menemanimu latihan drama, aku sudah berusaha..." Semoga dia tidak melihatku memilin-milin bajuku sendiri. Ini memalukan. "Jadi..."

"Kau mau ambil uang titipan itu? ambil saja sendiri. TUH!" kartu ATM warna biru yang tadi kutunjuk dengan mata, ditunjuk kasar telunjuknya.

"Kodenya?"

"Ulang tahun pacarku."

"Pacarmu? Maksudmu, ulang tahunku?" aku kege'eran kali ini.

Raizel terbahak. "HAHAHAHA! KAU??? PACARKU??? Yang benar saja..." setelah puas tertawa ia kembali ke air mukanya yang masam. "Ultahnya Kimbum Boys Over Flowers. Cari sendiri!"

Untungnya setelah hampir dua kali gagal, transaksi aman. Jujurnya aku yang tidak mengambil lebih daripada yang dibutuhkan. Aku juga hitung biaya penarikan, jadi uang Raizel tetap utuh. Bukannya dia harusnya bangga punya sahabat sepertiku? Hahaha...

Keesokan harinya...

Lalu seperti hari-hari sebelumnya, dia sibuk dengan teman-teman kelasnya. Apalagi Martin pindah ke kelas A, mereka makin dekat saja. Kevin berkali-kali bilang padaku untuk mengawasi mereka. Temannya Daryl itu takut adiknya 'ketularan'. Atau memang sudah? Seingatku Martin sama lurusnya dengan Kevin. Kalau tidak, artinya Martin kembali ke daftar hitamku. Setelah nama Randi si ketua ekskul.

Ah,  tapi sudahlah. Yang penting itu, Raizel tidak suka Martin. Mereka hanya berteman. Dia harus tetap suka aku. Tapi apa perasaan itu masih ada? Pagi ini dia sama sekali tidak makan sarapan buatanku seperti biasanya. Tidak mau pakai jaket yang kupilihkan. Padahal kemarin-kemarin, meski masam dia masih menganggapku ada. Apa dia benar-benar hilang minat padaku?

"Mau makan siang apa? Mau makan di luar?" lariku ke arahnya tak dihiraukan. Langkahnya cepat menuju kantin. "Raizel..."

Dia tidak sedikitpun melirik melihatku lunglai. Aku lebih 'nyesek' saat dia menyapa Daryl dan anak-anak basket. Senyumnya, lambaian tangannya yang tinggi itu, poni rambut coklat gondrongnya yang tergerai angin itu seharusnya punyaku. Malah Daryl yang dapat semuanya.

Sekarang masalah bertambah. Vanessa menarikku ke mejanya. Aku tahu dia suka padaku, tapi agresif begini membuatku takut. Minjung apalagi. Cekikikannya menonton drama korea di ponselnya bikin merinding. Kalau bisa jujur, Vanessa bukan bagian dari rencanaku untuk mengeluarkan Raizel dari ekskul itu. Tidak seperti Daryl yang jelas relawan. Vanessa itu variabel pembantu yang tak kuinginkan.

"Who are you looking at? Why don't you look at me instead?"  Aksen british Vanessa menggelitik telingaku. Kalau saja Raizel menoleh dan menarikku dari meja ini, i don't have to put up with this bule's foul breath.

Skip skip skip all that bullshit, sudah sore. Boy kujemput sendirian. Lagi-lagi Raizel memilih pulang bareng Daryl. Ada Kevin dan Martin juga. Motor ini jadi usang, sepi tanpa Raizel. Apa daya, motorku sudah pasti kalah dengan sedan mewah milik Daryl. Motor Daryl juga lebih 'laki' dari motor matic ini. Raizel tidak akan berpikir dua kali untuk menerima ajakan Daryl. Hei, apa gerangan Daryl tidak mengabariku apa-apa? Dia membelot? Dia bagian dari rencanaku, kan?

"Kak Izel mana?" Boy celingak-celinguk ke dalam kamar Raizel. Kosong tanpa pemiliknya. Cuma ada wangi parfum manisnya yang masih tercium. Bekas semprotannya tadi pagi. "Mau baca cerita.. Janji..."

Dia juga lupa janji dengan adiknya. Kugantikan saja perannya biar damai. Hingga pukul 9 malam lalu Boy tidur dan tante Tyara sudah bilang tidak bisa pulang dan tidur di rumah tante Mey teman kantornya. Lampu rumah bagian dalam sudah mati. Raizel belum pulang.

Ditelepon tidak aktif. Di luar sudah gerimis. Sofa empuk di ruang tamu jadi temanku. Bersama suara TV yang diputar kecil-kecil untuk hiburan. Gemericik hujan turun makin deras. Aku menggigil. Hujan dan petir memang takutku. Beku memeluk diri sendiri.

Memori itu hinggap lagi. Mama, papa, kak Mirna. Bahagia. Lalu hujan. Aku berlari ke kamar mama. Tertidur. Kak Mirna membangunkanku. Menangis. Berita kematian mereka itu terdengar dari mulutnya. Memori buruk itu. Aku ingin menghapusnya.

Petir menyambar. Kilatan cahaya menghenyakkanku. Aku takut setengah mati.

Sepuluh menit yang terasa seperti satu abad kemudian, pintu utama terbuka. Menggusur kedua mataku ke satu-satunya sumber cahaya benderang sekaligus asal bunyi hujan yang berteriak. Raizel berdiri di situ. Melempar payungnya ke lantai teras.

Mulutku kubuka sebisanya, ingin menyapanya. Sial, yang keluar hanya angin dan getaran. Aku bisu. Dia menatapku, bingung.

Pintu yang terbuka itu tak bisa kulihat lama-lama. Apalagi saat ada petir lain yang bersahutan. Sontak kututup kepalaku, dibenamkan dalam-dalam di antara lutut.

Raizel menutupnya. Iya, dia menutupnya. Aku hendak berterimakasih, tapi jantung ini berdebar gila-gilaan. Melemahkan. Membuat lumpuh.

Sejentik detik setelahnya pakaian basah di tubuh Raizel menjangkiti tubuhku. Aku dipeluknya erat. Kukeluarkan kepalaku. Kuraih tubuhnya cepat-cepat. Balik memeluknya, menghantarkan getar tubuhku ke dirinya.

"Raizel... t-terimakasih..."

"..." tak bicara. Dia tak bicara. Tapi belaian tangannya di rambutku nyata. Dia memperdulikanku. Aku membutuhkannya.

"Aku takut..."

"..." dia mengurungku dalam tubuhnya yang hangat. Aroma manis di dadanya menguap ke hidungku. Aku limbung. Lalu tertidur... Dalam mimpiku aku juga bersamanya. Raizel...

-|☆|-

Warning : You gotta read more to see the awesomeness...

Vote and comments are welcomed...

Twisted (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang