🌵Bab 1 - Musuh Bebuyutan

1.3K 65 257
                                    

Nb: Biar ngga bingung, jangan lupa baca DISCLAIMER dulu, sebab disana dijelasin guide read cerita ini menggunakan sudut pandang 'GUE' sebagai kata ganti orang pertama serba tau, dan bahasanya campur (baku-non baku) tergantung kebutuhan.

________________________

________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌵BAB SATU🌵

~♥ Musuh Bebuyutan ♥~

Nama gue Ahran Virniqravanqesavaqiavunqa.

Biasa dipanggil Ahran, tapi satu sekolahan manggil gue Ahran Vaqevaqevaq lantaran nama gue sulit banget buat disebut.

Kalau dibawa ke Bahasa Inggris, pelafalan Vaqevaqevaq jadi kayak lagi bilang 'fake' atau 'fu8k' , nggak enak banget sumpah.

Meski gue paling nggak suka dipanggil begitu, gue tetap diakui jadi primadona paling cantik di sekolahan. Cie elah.

Yaa ... walau ending-nya gue bakal jadi satu-satunya primadona yang tiap dipanggil namanya bakal selalu terkesan dihina-hina.

~o0O0o~

"Woy Vaqevaqevaq!"

Seseorang berteriak dari belakang gue. Telinga ini langsung nyaring tanpa dipancing.

Apa-apaan coba?

Gue menarik nafas dalam biar tenang. Kalau nggak, bisa-bisa gue langsung mencakar pemilik suara itu. Gue pun balik badan sambil bertanya. "Apaan?"

"Hehe ... nggak ada, manggil doang, ngetes," cengir orang itu dengan tampang paling nyebelin se-dunia.

Namanya Navin Malroy, kata orang prince-nya Golden High School. Dibalik sifatnya yang kata orang baik, perhatian, romantis, dan bijaksana, dia bakalan berubah 180 derjat pas lagi sama gue.

Dia nggak lebih dari Ketua OSIS yang suka tebar pesona, suka pamer, sok beken, sok ganteng, sok pintar, sok baik padahal pengen dipuji, sok jaim, dan sok ini itu (menurut gue aja sih).

Satu hal yang paling jelas, dia adalah musuh bebuyutan gue.

Gue nggak tau mesti respon apa saat dia bilang cuma mau ngetes gue doang. Sengaja banget manggil julukan gue, gitu?

"Ternyata Vaqevaqevaq udah nyantol banget di insting lo." Navin tersenyum evil.

"Lo diem atau gue cakar?" tanya gue datar.

"Selow, Buk, gitu amat responnya."

"Ini udah selow kok, Pak." Gue udah khatam sama sifatnya Navin. Paling suka mancing-mancing biar gue badmood. "Lo nggak usah gitu kali manggil gue!"

"Paan larang-larang gue?" Navin menoyor dahi gue, pelan, tapi bikin gue naik darah.

"Nggak usah sok akrab. Kita nggak bakal pernah akrab!"

"Please deh, Ran. Lo kenapa harus sejudes ini sih? Manis dikit napa? Marah-marah mulu bisa bikin orang tambah tua lho."

"Yang ada, gue kena darah tinggi tiap ngadepin lo, Vin."

"Lo tadi pasti beneran mau nyakar gue kan?"

Mata gue berkedip sekali, spontanitas dari tubuh ini yang membenarkan ucapan Navin. Akhirnya gue pun membela diri. "Kalau iya, lo mau apa? Lagian mending juga dicakar, cakar kucing, kucing kan imut."

Navin terbahak. "Ya kali kucing, cakaran lo itu pasti lebih cocok disebut cakaran singa. Hidiiih ... ganass."

Otak gue memanas lagi. Tak pernah sedetik pun gue bisa menghadapi Navin dengan kepala dingin. Tuh cowok selalu bikin gue kesal.

"Fine, andaikan gue singa, gue pasti udah ngerobek mulut lo dari tadi."

Navin tersenyum tipis. "Coba aja, siapa tau yang nyentuh bibir gue bukan kuku lo, tapi justru ... " Navin maju selangkah setelah menggantungkan ucapannya. Tangan kanan yang awalnya berada di saku celana, kini terangkat. Ia menyapu lembut bibir gue dengan ibu jarinya.

Sedetik kemudian gue mematung menatap wajah Navin. Namun detik berikutnya giliran tangan kanan gue yang terangkat.

Plaak!!!

Tak sekedar cakaran, gue justru menampar pipi Navin dengan keras. Rasanya pasti sakit mendengar bunyi tamparannya yang cukup nyaring.

Navin terlihat syok tak percaya. "Ahran..."

Gue terdiam beberapa saat setelah menyadari gerak refleks tangan gue. Ah, tangan gue sweet banget, demi harga diri bibir gue. (LoL)

"Lo lebih dari pantes dapetin tamparan itu, Vin." Gue menatap tajam mata Navin. Gue nggak tau maksud Navin barusan cuma buat bercanda atau ingin melecehkan. Yang jelas, gue merasa harga diri gue disinggung.

"Gu-gue cuma bercanda, Ran ... kenapa lo langsung ambil serius gitu sih?" Navin memegang pipinya dengan sorot mata bingung.

Sesering-seringnya kami berantem dan adu mulut, baru ini lah kali pertamanya gue nampar dia. Biasanya gue cuma sebatas ngebentak-bentak dia. Tentunya pas Navin lagi berulah.

"Lagian lo kenapa seenaknya pegang-pegang bibir orang sembarangan sih? Lo lebih dari pantes dapetin tamparan itu." Gue mengulang perkataan gue tadi.

"Allright, sorry ya, gue emang keterlaluan." Navin mengaku salah. Tapi lima detik kemudian, wajah bersalahnya itu kembali berubah menjadi evil. "Kalau lo minta maaf balik, kita impas."

Lidah gue langsung keseleo mau balas ucapan Navin yang lebih tergolong kejam itu. Bukan Navin namanya kalau tak punya gengsi tinggi. Paling enggan merendah diri.

Gue tau dia pasti kesal karena habis ditampar, tapi tamparan itu belum sebanding dengan jarinya yang seenaknya nyentuh .... Ah, pokoknya rasa kesal gue ke dia yang jauh lebih besar. Apalagi mengingat selama ini Navin selalu gangguin gue, bahkan semenjak pertama kali ketemu di awal Masa Orientasi SMA, kami selalu adu mulut dan versus-an dalam hal apapun.

Gue hanya bisa membuang nafas kasar sambil melipat tangan dan geleng-geleng kepala, tak tau mesti menyaingi perkataan Navin barusan dengan apa.

Sedetik bersama Navin, sedetik itu pula lah gue bertambah tua...

~o0O0o~

Akan update terus tiap sabtu.

Ciee... malam minggu nggak bakal ada yg gabut lagii. Hehe ...

Vote Comment ya biar gue semangat. Biar Ahrannya juga semangat.

ENEMY ZONE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang