🌵 BAB 38 🌵
~ ♥ The Show ♥~Hari ini Lisa masih enggak sekolah. Sejak kemarin dia bener-bener enggak ngasih kabar. Denofa juga. Tuh orang berdua kok kompak banget enggak hadir selama dua hari ini?
Gue lihat bangku Navin juga kosong. Gue baru tau dari obrolan temen-temen di sekitar gue. Ternyata hari ini dan kemaren Navin sebagai perwakilan sekolah datang berkunjung ke sekolah-sekolah terbaik di luar kota dengan pak Kepsek dalam rangka kerjasama dan peningkatan mutu sekolah. Itu tuh kayak, sekolah kita pengen melihat keadaan dan fasilitas sekolah lain, terus menjadikannya motivasi untuk memperbaiki sekolah menuju ke arah yang lebih baik. Tapi anehnya kenapa mereka nggak ngelibatin gue ya? Padahal gue juga siswa teladan, kalau gue ikutan gue nggak perlu ngalamin hal mengerikan kayak kemarin.
Navin pergi sebagai perwakilan dengan dua orang lainnya, yaitu Aldo dan Nicko. Kayaknya si Gendut Marsha galau banget enggak ketemu sama Nicko.
Hari ini, temen-temen dan guru-guru cukup kaget dan heran melihat luka-luka dan memar-memar yang mulai terlihat di wajah gue, kali ini jauh lebih parah dari yang waktu itu. Sudut mata, sudut bibir, pipi bengkak, dan beberapa goresan luka di tulang pipi gue. Tapi anehnya, nggak ada satu pun yang nanyain gue kenapa. Ya, wajar aja sih mereka bersikap agak beda setelah apa yang gue tweet di twitter, tapi setidaknya mereka hendaknya tau kalau yang ngetweet bukan gue!
Berbeda dengan temen seangkatan yang cuma ngacuhin gue, para adek kelas masih masang tampang masam ke gue, terlebih lagi, anak-anak yang jadi paparazi dan junior yang fans banget sama Navin.
Gue dengan berani makan di cafe walaupun cuma sendirian. Yea ... gue udah memutuskan untuk enggak menyerah sedikit pun, gue enggak mau kejadian dulu terulang lagi. Kejadian dimana gue bertingkah seperti pecundang yang mengurung diri di perpus. Gue enggak salah, jadi kenapa gue harus takut?
Dua hal yang bikin perasaan gue enggak enak. Pertama, gue masih kepikiran tentang pertunjukan yang dimaksud oleh Viola itu. Dan yang kedua, kalau gue beneran di-bully, saat ini pasti enggak bakal ada yang bantuin gue karena yang makan di cafe ini adalah junior-junior semua!
Satu hal lagi yang gue sesali, gue baru sadar nggak ada satu pun anak kelas 12 yang duduk di cafe ini. Ah iya! Sekarang kan seluruh kelas 12 pada ngumpul di Aula karena ada seminar tentang ujian sekolah. Harusnya gue di sana sekarang, setidaknya lebih aman di sana dari pada di sini. Gue beneran lupa karena saking pengennya ngebuktiin diri bahwa gue enggak takut sama ancaman Si Mak Lampir itu, gue beraniin diri makan sendirian ke cafe ini, ya tentu aja isinya adek kelas semua.
Saat gue masih ngutuk-ngutuk menyadari kebodohan gue, sebuah tomat busuk di lempar ke muka gue. Gue kaget sambil mengelap wajah lalu melihat ke asal lemparan. Dan itu berasal dari Viola si junior kurang ajar yang memukul gue kemaren. Ia dengan senyum santai melambung-lambungkan sebuah tomat di tangannya.
Semua junior yang di cafe agak heran melihat perilaku teman seangkatan mereka.
"Apa-apaan sih lo!" bentak gue berdiri sambil menggebrak meja. Jus guava yang tinggal separuh itu langsung tumpah dan gelasnya terlempar ke bawah hingga pecah.
Viola agak terkejut dengan reaksi gue, tapi sebuah senyuman licik kembali menghiasi bibirnya yang ditindik.
"Temen-temen semua," serunya berjalan santai. Dia menyapu pandangan keseluruh ruangan memastikan seluruh teman angkatannya mendengarkan. "Kalian tau kan siapa pecundang yang ada di tengah-tengah kita ini? Dia adalah orang yang bikin statusdi twitter dengan ngejelek-jelekin sekolah! Dia yang bilang kita semua ini bodoh! Inget ngga sih dia sampai berkata-kata kasar segala!"
"Elo tau kan bahwa itu bukan gue!" potong gue keras. Viola kali ini benar-benar kaget karena gue memotong perkataannya. "Kalian semua tau kan kalau gue enggak bakal mau bikin status sekasar itu!" Gue beralih ke seluruh junior di cafe itu. "Kalian semua pasti tau kan kalau twitter gue dibajak?"
"Bohong!!" Viola balas memotong. Gue agak sakit hati karena adek kelas udah pada simpati mendengar omongan gue. "Dia bohong! Kalian semudah itu percaya bahwa dia enggak ngelakuin apa-apa? Kalau gitu kenapa dia tega membohongi kalian dengan sandiwaranya sebagai pacar ketua OSIS kita?"
Wajah adek kelas yang tadinya mulai percaya ke gue kembali berubah kesal. Kedua cowok yang kemaren ikut menyaksikan gue disiksa olah Viola datang dengan beberapa keranjang berisi tomat. Mereka meletakkannya di berbagai arah. Sehingga memudahkan adek-adek kelas lain mengambilnya.
"Jadi." Viola mengangkat tomat di tangannya. "Nggak ada salahnya sekarang kita kasih si pecundang ini pelajaran. Karena semua yang bersalah harus mendapat hukuman," serunya menuding gue. Disusul pula oleh sorakan mengkoor dari beberapa arah yang mendukung ucapan si Mak Lampir ini.
Sial! Apa yang harus gue lakuin? Pasti ini adalah pertunjukan yang Mak Lampir ini maksud kemaren sore.
Gue melirik pintu cafe, pintu kaca cafe terbuka lebar, apa sebaiknya gue langsung lari kabur aja?
Ya! Inilah yang harus gue lakukan sekarang. Demi keselamatan hidup gue.
Dengan gerakan cepat gue berlari ke arah pintu cafe, dengan harapan gue bisa menglahkan waktu dan selamat keluar cafe. Tapi jantung gue terasa dicabut karena baru satu langkah berlari, kaki gue udah disandung entah dari arah mana.
Kayak slow motion gue terjatuh dan terjerembab dengan tangan terjulur ke arah pintu (agak dramatis ini ceritanya). Gue menoleh ke orang yang berani-beraninya nyandung kaki gue di saat yang penting ini. Ternyata salah satu dari dua cowok bawahannya Viola. Sejak kapan sih dia ada di dekat gue?
Belum sempat gue berpikir untuk berdiri, sebuah tomat kembali mendarat di bahu gue. Dan tak lama, hujan tomat pun terjadi di hari yang panas dan melelahkan. Dalam sekejap tubuh gue udah bermandikan tomat. Bahkan ada juga yang ngelemparin makanannya ke gue.
Gue enggak kaget lagi dengan reaksi mereka, dan anehnya gue cuma bisa terduduk di lantai menerima hujan makanan dan hujan tomat dari mereka. Ah andaikan gue membawa payung setidaknya gue bisa menangkis lemparan dari mereka, yea ... seandainya.
Habis dilemparin, gue di dorong-dorong dengan kasar hingga masker yang gue pake akhirnya terlepas memperlihatkan wajah hancur gue yang mungkin udah kayak monster, dan rambut gue lagi-lagi dijambak dengan keras. Gue cuma bisa berteriak kesakitan, berteriak marah supaya mereka berhenti. Yea ... mau gue apain, gue sendiri, mereka? Ratusan.
Viola berjalan mendekati gue, spontan yang lain menghentikan jambak-menjambak rambut gue. Gadis itu berjongkok di depan gue dengan seulas senyuman, kayaknya cuma itu yang bisa ia jadikan topeng untuk menutupi wajahnya yang buruk rupa. Apalagi sifatnya yang udah kayak setan belang!
"Gimana kak? Rasanya mengasyikan bukan?"
Gue gemetar menantang tatapannya. Sebenarnya gue juga heran, entah dapat kekuatan dari mana gue masih bisa nantangin dia dengan kondisi fisik dan psikologis gue yang udah keropos banget. Apalagi dengan sekuat tenaga dan sisa-sisa keberanian yang lebih di dominasi oleh ketakutan, gue menampar wajah Viola hingga bikin dia terduduk ke belakang. Tanpa memberi dia kesempatan untuk membalas serangab gue, gue udah duluan menjambak rambutnya tak kalah kasar dengan apa yang selama ini udah dilakuinnya ke gue.
Gue enggak bakal menyerah! Sampai kapanpun!
~o0O0o~
.
.
.Please VOTE and COMMENT
.
.
.
.Love di Udara💕
Ranne Ruby
KAMU SEDANG MEMBACA
ENEMY ZONE [TAMAT]
Teen FictionNot Every Princess Needs a Prince Charming "I am priceless, lo punya modal apa buat deketin gue?" "Most wanted boy?" "Gue ngga butuh gelar lo itu." © Copyright Ranne Ruby