Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌵Bab 24🌵 ~♥ Ogeb Banged Njir ♥~
Gue membuka mata, warna yang gue lihat pertama kali adalah putih. Apa ini ruang UKS?
Enggak, bau obat di ruang UKS nggak sepekat ini. Apa ini rumah sakit?
Gue menoleh dan mendapati diri gue sedang terbaring di salah satu dari tiga ranjang yang kosong. Tampak sesosok tubuh duduk di kursi sebelah ranjang gue. Dia terlungkup di tepi kasur dan tangannya menggenggam tangan kanan gue.
"Umi?" panggil gue serak-serak heran.
Yang dipanggil langsung bangun dan menatap gue terkejut. "MasyaAllah, Ahran, kamu sudah bangu, Nak? Alhamdulillah," senyum umi membelai rambut gue.
Gue bisa melihat mata lembab dan tatapan sayu dari umi, umi pasti habis nangis.
Umi pun langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan gue. Gue cuma menurut. Dokter pun datang dan memeriksa kondisi gue.
Bahkan suster yang mendampingi dokter itu sampai nanyain, "Ini angka berapa dek?"
Lha? Emangnya gue habis gegar otak, apa.
"Umi, kenapa umi bisa ada di sini?" tanya gue setelah dokter dan suster aneh itu pergi.
"Kemaren, ada teman kamu yang telpon Umi," jawab umi.
"Siapa? Navin?" tebak gue. "Tunggu! Kemaren? Mak-maksud Umi aku udah ...." Gue enggak bisa menutupi rasa kaget gue.
"Iya, kamu selama satu hari satu malam nggak sadarkan diri, Sayang. Dokter bilang ini karena pengaruh racun itu," jelas umi.
"Racun?" Gue tambah kaget.
"Kamu keracunan makanan, Ran. Aneh banget sih kamu kok makan sembarangan," omel umi.
Gue langsung teringat apel dan kejadian terakhir sebelum gue pingsan. Gue juga teringat Navin. "Jadi, apa kata Navin sama Umi pas ditelpon?"
"Dia bilang ada hal penting, dan umi diminta langsung nyusul ke rumah sakit secepatnya. Setiba di rumah sakit umi baru dikasih tau kalau kamu habis keracunan," jelas umi. "Kamu bener-bener nggak apa-apa kanxl, Ran? Beneran nggak ada yang sakit?"
Gue menggeleng. "Enggak kok Umi, nggak ada yang sakit, Ahran baik-baik aja."
Yaah ... sebenarnya gue bohong dikit, karena sekarang gue masih rada-rada mual dan lemes. Di lain sisi gue cukup salut juga sama Navin, pasti Navin mikir kalau dia duluan ngabarin umi lewat telpon takutnya umi syok dan kenapa-napa di jalan. Makanya dia ngasih tau umi tentang keadaan gue setelah umi sampai di rumah sakit. Lagian umi emang mudah pingsan kalau syok.
Keesokan harinya, untungnya gue udah dibolehin pulang sama dokter. Yang jemput adalah Kak Zafran, pake mobil.
Abi masih Singapura dan lagi-lagi karena ada urusan kantor, walau abi cukup panik ingin langsung pesan tiket pulang ke Jakarta tapi umi berhasil meyakinkannya lewat telpon kalau gue sudah dalam keadaan baik-baik saja.