Vote ya :)
----------------------------
"Ya, Hallo."
Kanya menoleh dan melihat Fath tengah berdiri di ambang pintu apartemen dengan tangan kiri memegangi ponsel.
Pandangan mereka bertemu, lantas Kanya mengisyaratkan agar Fath menerima telepon seraya duduk di sofa ruang tengah. Fath hanya mengangguk tetapi raganya masih berdiri mematung di ambang pintu.
"Iya, Pah. Kenapa?" tanya Fath dengan seseorang dari ujung sana.
Tubuh Kanya berada di depan Fath kemudian menyeret badan Fath agar duduk di sofa. Setelah memastikan suaminya yang bandel ini duduk dengan benar, Kanya melesat ke dapur dan kembali dengan tangan membawa segelas air mineral.
"Ke rumah sekarang Fath!"
Fath mengernyit seraya menjauhkan ponsel dari telinga kirinya. "Astaghfirullah!" cicitnya. Kanya ikut menatap bingung ke arah dirinya.
"Iya, Fath bakal ke sana. Siang ini?"
"Sekarang Fath! Sekarang! Kamu enggak denger Papa ngomong apa?"
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan agar amarahnya tidak tumpah. Berurusan dengan papa memang selalu berakhir dengan emosinya yang tersulut.
"Iya. Fath ke sana sekarang. Tapi Fath mau sarapan dulu, udah dimasakin sama Kanya," elak Fath.
Namun, belum sempat ia menghembuskan napas, papa sudah mengeluarkan argumennya kembali.
"Enggak usah sarapan dulu. Langsung ke sini, Papa mau bicara penting sama kamu Fath!"
"Pah. Bisa nggak sih, nggak usah pakai urat kalau bicara sama Fath? Fath capek Pah, main emosi terus." Fath menyeka keringat yang mengalir melalui pelipisnya.
Ia dapat mendengar suara decakan kasar dari seberang sana. Ia membenci saat-saat seperti ini. Saat ia harus berbicara menggunakan emosi, suatu hal yang sangat ia hindari selama ini.
"Oke Fath. Tapi sekarang kamu ke sini, dan ingat jangan ajak istri kamu itu," ujar Ayah dengan nada tak suka ketika mengucapkan kata istri.
Mengingat jika topik pembahasannya dengan sang papa akan berubah panas, Fath beranjak dari sofa dan berjalan menuju balkon. Sebelum kembali berbicara dengan papa, ia berbalik melihat Kanya yang menatapnya bingung.
"Kenapa memangnya Pah? Kanya istri Fath, kenapa Kanya nggak boleh ikut?"
"Karna dia yang menjadi biang masalah hidup kamu. Papa mau bicara serius sama kamu."
Dengan entengnya, papa berbicara bahwa istrinya merupakan biang masalah hidupnya. Hal itu benar-benar membuat ego yang mati-matian ia tekan kembali menyeruak.
"Fath nggak suka Papa ngejelekin istri Fath. Dia perempuan yang istimewa untuk Fath, Pah," bela Fath. Ia tidak bisa tinggal diam jika Kanya yang disalahkan.
"Hahahaha. Kamu itu masih muda, tapi udah keblinger sama harta, tahta, dan wanita. Mau jadi apa kalau besar nanti!"
Tangan kanannya yang menggelantung bebas di udara, mengepal dengan sangat erat hingga memunculkan urat-urat ototnya.
"Pah! Semua ini bukan tentang harta, tahta, wanita. Tapi tentang tanggung jawab Fath kepada wanita yang telah Fath persunting. Tanggung jawab Fath di hadapan Allah, Pah," ucap Fath dengan nada tak suka yang begitu kentara.
"Ya sudah lah, terserah kamu. Pokoknya Papa tunggu setengah jam dari sekarang. Papa habis ini masih ada acara Fath."
"Iya. Assalamualaikum," tutup Fath.
![](https://img.wattpad.com/cover/121126562-288-k668762.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Spiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...