Hal pertama yang menyapa Indra penglihatannya adalah ruang apartemen yang sudah terang namun terasa begitu sunyi. Sesunyi hatinya setelah semua kejadian yang terjadi. Dengan baju yang sudah agak kering, Fath melangkah gontai menuju mesin cuci untuk memasukkan pakaian yang melekat di tubuhnya.
Sampai di sana, ia melihat tempat detergen yang terbuka, beberapa helai jaket miliknya -ada yang telah berada di dalam mesin dan ada yang tergeletak di lantai- Fath mengambil jaket yang hampir saja ia injak. Namun, ia dikejutkan dengan seutas kertas yang ia yakini adalah surat terakhir dari Praela.
Sesaat ia berhasil mengambil surat tersebut, hatinya terluka. "Pasti Kanya udah baca surat ini," ucapnya ditemani tatapan nanar.
Membayangkan betapa kagetnya Kanya membaca surat ini, terus setelah itu istrinya dikejutkan oleh listrik yang padam, menyadarkan betapa brengseknya dia. Seolah mereka ulang semua pergerakan Kanya menurut instingnya, Fath melangkah menjauhi mesin cuci -membatalkan niatnya memasukkan pakaiannya- dan menyusuri tangga menuju kamar mereka.
Hatinya seolah diremas kala melihat cucuran darah mengering menempel di anak tangga terakhir dan darah itu semakin banyak seiring semakin dekat langkahnya menuju kamar. Membuka gagang pintu kamar dengan tangan diselimuti keringat dingin, Fath mencoba merapalkan ribuan istighfar.
Menyiapkan mental untuk melihat bukti betapa kejamnya dia tadi membiarkan Kanya kesakitan dan justru mematikan puluhan panggilan dari instrinya. Ditambah lagi, di Bogor ia bercengkrama bersama seorang perempuan yang jelas-jelas hampir membuat hatinya goyah.
Decitan pintu semakin samar terdengar ketika matanya melihat begitu banyak darah di lantai kamar, tak lupa bayangan ponsel pintar Kanya yang tergeletak di dekatnya. Fath duduk di pinggiran ranjang, tangannya mengepal keras kemudian memukulkannya di dada. Rasanya begitu sesak membuatnya lupa bagaimana caranya bernapas.
"Lu brengsek Fath."
Batinnya saja sudah berani mengejek dirinya sendiri. Namun tanpa mampu memungkiri, Fath membenarkan suara batinnya. Dia memang brengsek, sangat brengsek.
Bayangkan saja, ketika ia sedang bercengkrama dengan perempuan lain sedangkan istrinya kesakitan di rumah. Ketika ia memutuskan menolak panggilan istrinya bahkan mematikan ponselnya, di sini istri beserta anaknya mempertaruhkan hidup dan matinya.
Ia tak pernah merasa segagal ini sebagai seorang lelaki.
Ia tak mampu, sungguh tak mampu hanya sekedar menebak bagaimana reaksi istrinya ketika perempuan itu tersadar nanti. Pasti jauh lebih hancur dari dirinya. Jika dirinya saja begitu merasa sakit, pasti Kanya akan lebih sakit hingga rasanya ingin mati.
Fath berdiri, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri beserta pikirannya. Berharap setelah diguyur air dingin, pikirannya bisa jauh lebih jernih. Ia harus kuat, setidaknya ia harus kuat guna menguatkan istrinya yang pasti akan begitu hancur lebur.
Kegiatan selanjutnya adalah mengepak beberapa helai pakaian Kanya yang akan ia bawa ke rumah sakit. Fath menyelesaikan dengan begitu cepat, ia ingin segera kembali ke rumah sakit dan ada di saat Kanya membuka mata.
Namun, keinginannya harus ia tahan saat ia sadar bahwa ia harus membersihkan bekas darah yang menghiasi lantai apartemennya.
Tangisnya kembali pecah saat pel yang ia pegang mulai menghapus jejak darah istrinya.
"Ya Rabbi, Ya Rabbi," ucapnya sembari menitiknya ribuan air dari sudut matanya.
***
"Kamu jangan sampai terlihat hancur di hadapan Kanya ya Nak," ujar mama disela kesibukkan Fath untuk memasukkan pakaian yang tadi ia bawa di lemari kecil yang di berada di ruang rawat Kanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Spiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...