Suara gesekan rel dengan roda kereta api yang semakin lama semakin menanggalkan indera pendengaran, menandakan segera berakhirnya perjalanan panjang mereka.
Hara-huru penumpang, mengambil alih udara segar Kota Bogor pagi ini. Para penumpang saling berdesakan, menghimpit setiap insan manusia yang ingin segera meloloskan diri dari pergulatan perebutan oksigen di dalam kereta. Berbeda dengan seorang anak abg yang duduk termangu dengan sepasang headset menempel di kedua sisi telinganya.
Ia hanya menatap para penumpang yang tampak gelisah, ingin segera bebas dari sesaknya kereta Jakarta-Bogor pagi ini. Sesekali ia terkekeh, sebagian besar penumpang adalah kalangan dewasa modern, namun mentalnya jauh tertinggal atau sering disebut dengan cultural lag dalam ilmu Sosiologi.
Ia beranjak berlajan menuju pintu keluar, setelah manusia-manusia tak sabaran musnah dari penglihatannya.
Berjalan dengan santai menyusuri stasiun dengan tas ransel hitam pekat bertengger di balik punggung lebarnya, tiba-tiba langkah Fath terhenti. Ia menyipitkan matanya, memastikan apakah benar jika seseorang yang berada di ujung sana memerhatikan dirinya.
Namun yang dilihat justru melengos dan melenggang begitu saja. Mendapat perlakuan seperti itu, Fath mengendikkan bahunya tak acuh dan melanjutkan jalannya.
"Fath!"
Merasa namanya terpanggil, ia pun memebalik badan ke arah suara tersebut. Raut wajahnya seketika berubah cerah, uluman senyum terlihat jelas di bibir tipisnya.
"Loh Mama? Kok di sini?" tanya Fath berjalan mendekat kemudian mengambil tangan wanita paruh baya di hadapannya.
"Waalaikumussalam, Nak."
Jawaban dari mama membuat Fath mendengus, ia pun mengulang ritual mencium punggung tangan mama sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, Mama," salamnya sengaja denga nada sedikit ditekankan.
"Hahaha, waalaikumussalam anak mama yang paling ganteng."
"Ya iyalah yang paling ganting, orang anak Mama cuma Fath," rengek Fath layaknya balita.
Entah mengapa, sejak pertemuan dirinya dengan mama beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat papa meminta dirinya datang ke rumah masa kecilnya, Fath jadi jauh lebih dekat dengan ibundanya.
"Tapi kamu beneran ganteng kok--."
"Ganteng kayak papa," tukas Fath menimbulkan guratan muram dari wajah wanita paruh baya tersebut.
"Maaf Ma," lirih Fath.
Ia menunduk, sepertinya menyebut papa di hadapan mama bukanlah ide yang bagus. Kepalanya terasa dielus oleh seseorang. Fath pun mendongak, senyumanannya seketika terbit kembali saat melihat mama tersenyum sembari mengelus kepalanya.
"Kamu nggak salah, toh kamu memang anak papa kan? Kalau nggak ada papa, kamu juga nggak akan ada di dunia ini."
"Bukan karena papa, Mah. Tapi atas izin Allah, Fath bisa lahir di dunia ini menjadi anak mama dan papa," tutur Fath membenarkan.
"Kamu makin pinter, Alhamdulillah."
Sekarang mereka telah berjalan keluar dari area stasiun yang berangsur sepi pengunjung. Bercengkrama dengan mama, sepertinya berhasil menghapuskan ingatan Fath tentang kewajiban sekolahnya.
"Mama belum jawab pertanyaan Fath. Kok Mama yang jemput Fath? Padahal tadi Fath udah mau telepon ojek online."
Yang ditanya justru tertawa, berbeda dengan dirinya yang menghela napas panjangnya. "Kebetulan Mama ada ketemu client nanti jam 9, sekalian jemput anak mama nggak salah kan?" Fath menggeleng.
![](https://img.wattpad.com/cover/121126562-288-k668762.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Spiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...